Jakarta – Publik dikejutkan dengan langkah Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pagi ini, Senin, 20 Januari 2025 yang menggelar Rapat Pleno penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), dengan alasan untuk menindaklanjuti sejumlah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menambahkan sejumlah pasal lainnya.

Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola energi dan Sumber Daya Alam (SDA), yang beranggotakan 31 organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional dan daerah, menyebut bahwa proses proses penyusunan RUU ini sangat kilat dan tidak transparan. Muncul secara tiba-tiba, yang bahkan sebelumnya juga tidak muncul dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.

“Jika ini diteruskan, bisa dikatakan lebih ugal-ugalan dari DPR periode sebelumnya. Apalagi, agenda yang muncul di publik, Baleg menargetkan, Rapat Penyusunan, Rapat Panitia Kerja (Panja), dan Pengambilan Keputusan Penyusunan RUU Minerba akan ditargetkan dalam satu hari saja!” katanya.

Aryanto mengungkapkan, ”Jika kita memperhatikan jalannya Rapat Baleg pagi ini, sejumlah anggota Baleg bahkan mengakui baru dapat Naskah Akademis (NA) 30 menit sebelum rapat. Seolah-olah ada upaya memaksakan agar segera dilakukan Revisi UU Minerba. Pertanyaannya Revisi UU Minerba yang kilat ini untuk siapa?”

Arif Adiputro, peneliti Indonesia Parliamentary Center (IPC) menyebut bahwa secara formil dalam pembentukan Undang-Undang (UU) berdasarkan Pasal 23 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) dijelaskan UU yg masuk kumulatif terbuka seharusnya mengakomodir putusan MK diluar putusan MK tidak bisa dibahas, jika mau dibahas harus ditetapkan dalam Prolegnas prioritas tahunan.

Dalam hal ini DPR gagal memahami dalam proses pembentukan UU dan melanggar konstitusi. Selain itu, dengan disahkan UU Minerba dalam waktu singkat tanpa mempertimbangkan masukan masyarakat DPR dinilai tidak belajar dari problem sebelumnya mengenai meaningfull participation atau partisipasi bermakna. Padahal di UU PPP dijelaskan bahwasanya UU yang masuk kumulatif terbuka maupun yang masuk Prolegnas harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunannya.

Konsekuensi dari pengesahan UU minerba yang terburu-buru akan mengakibatkan kurangnya legitimasi dari masyarakat dan menimbulkan konflik di kemudian hari. Kemudian implementasi dari undang-undang tersebut tidak berjalan optimal.

Pasal-Pasal Bermasalah

Aryanto mengungkapkan sejumlah pasal yang diusulkan dalam penyusunan RUU ini sangat bermasalah, diantaranya:

  1. Pasal 51 ayat (1) dimana Wilayah Usaha Pertamnangan (WIUP) Mineral logam diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau Perusahaan perseorangan dengan cara Lelang atau dengan cara pemberian prioritas.
  2. Pasal 51A ayat (1) WIUP Mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.
  3. Pasal 51B ayat (1) WIUP Mineral logam dalam rangka hilirisasi dapat diberikan kepada badan usaha swasta dengan cara prioritas.
  4. Pasal 75 ayat (2) Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta atau badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

“Kami menduga, Penyusunan Rancangan UU Minerba untuk memuluskan upaya mekanisme pemberian izin untuk badan usaha milik Ormas. Ditambah pula dengan Badan Usaha milik Perguruan Tinggi (PT) dan UMKM — menggunakan banyak kalimat – atau diberikan secara Prioritas” jelasnya.

Hal ini adalah bentuk lain “jor-joran” izin tambang yang membahayakan bagi keberlanjutan, baik di batubara maupun mineral.

Selain itu juga menunjukkan bahwa Pemerintah mengakui bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara bertentangan dengan UU, sehingga perlu mengubah UU Minerba secara ugal-ugalan.

Dalam konteks pemberian WIUP secara prioritas kepada perguruan tinggi (PT) misalnya. Seharunya PT fokus pada penyiapan SDM, pengetahuan, dan kapasitas yang mendukung hilirisasi industri pertambangan yang mendukung percepatan transisi energi. Dalam konteks hilirisasi, PT bisa bermain peran dalam mendukung adanya Transfer of Knowlegde dari Investor, membuat lab-lab yang mendukung industri, dan menghasilkan banyak paten.

“Bukan malah membuat badan usaha milik PT!” ungkap Aryanto.

 

Narahubung:

Aryanto Nugroho – aryanto@pwypindonesia.org Arif Adiputro – arif.adiputro@gmail.com

YASMIB Sulawesi bekerjasama UNICEF mengadakan Pelatihan Pencegahan Perkawinan Anak dan Nikah Siri bagi Tokoh Agama dan Masyarakat (Termasuk Imam Desa) untuk Mendorong Norma-norma Sosial yang Positif dengan melalui program Better Reproductive Health and Rights For All in Indonesia (BERANI) II”. Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, mulai Jumat, 20 s/d Sabtu, 21 Desember 2024, di Makasaar Room Hotel Novena Watampone.

Program BERANI II merupakan program kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Canada yang dilaksanakan oleh YASMIB Sulawesi dan UNICEF yang khususnya di Kabupaten Bone dan Wajo dengan tujuan meningkatkan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan dan orang muda.

Perkawinan anak merupakan fenomena yang erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya, sosial, dan agama yang terdapat dalam masyarakat. Secara umum, masyarakat dengan pola hubungan tradisional, pernikahan dianggap sebagai suatu kewajiban sosial yang memiliki nilai sakral dan menjadi bagian dari warisan tradisi. Sementara itu, pada masyarakat modern yang lebih rasional, perkawinan lebih sering dianggap sebagai sebuah kontrak sosial yang berbasis pada pilihan individu. Sudut pandang tradisional terhadap perkawinan sebagai kewajiban sosial ini, memiliki kontribusi yang signifikan terhadap fenomena pernikahan dini yang masih sering dijumpai di Indonesia.

Salah satu faktor penyebab terjadinya perkawinan anak diantaranya adalah adanya nilai yang diyakini secara kuat oleh masyarakat dan berlaku secara turun temurun sampai saat ini yaitu bahwa jika anak perempuan sudah haid dan belum menikah maka diberikan label sebagai “Anak Dara Lado” atau dianggap anak perempuan yang tidak laku. Pelabelan masyarakat yang bias gender ini lebih umum berlaku untuk anak perempuan, bagi laki-laki hanya berlaku jika belum menikah pada usia rata-rata diatas 25 tahun.

Artinya, perkawinan di bawah usia 19 tahun melanggar hak anak atas pendidikan, kesenangan, kesehatan, kebebasan berbicara dan diskriminasi. Proses perkawinan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dan kebiasaan yang diikuti oleh warga masyarakat. Selain itu, pola asuh yang tidak tepat, berdampak pergaulan anak yang tidak terkontrol oleh orang tua atau pengasuh.

Maka dari itu, peran agama sebagai salah satu faktor sosial, budaya, dan moral memiliki potensi besar untuk mencegah terjadinya perkawinan anak di Indonesia. Agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Buddha, maupun agama-agama lainnya, memiliki ajaran dan nilai-nilai yang mengajarkan tentang pentingnya menunda perkawinan hingga usia yang matang dan siap secara fisik, mental, dan ekonomi.

Selain itu, agama juga memiliki peran dalam memberikan pemahaman dan pedoman mengenai hak-hak dan kewajiban dalam perkawinan. Peran tokoh agama sangat penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Oleh karena itu, tokoh agama harus dapat mencarikan solusi atas persoalan umatnya untuk mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan secara komprehensif.

Rosniaty Panguriseng, S.P., M.Si selaku Direktur Eksekutif YASMIB Sulawesi menyampaikan, tujuan dari kegiatan pelatihan ini, untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan tentang dampak perkawinan anak dan nikah siri anak serta mampu menerapkan norma-norma sosial yang positif. Jadi harapannya bagaimana upaya pencegahan perkawinan anak ini kita bisa bergerak secara bersama khususnya terkait dengan perkawinan siri bagi anak, karena perkawinan ini tidak tercatat meskipun dalam agama sah jika memenuhi rukun nikah tetapi tidak sah menurut hukum negara. Perkawinan anak ini artinya lebih banyak mudaratnya dibandingkan manfaatnya, segala sesuatu yang banyak mudaratnya harusnya kita tinggalkan.

“Kenapa banyak mudaratnya karena bisa menimbulkan berbagai masalah diantaranya ekonomi keluarga, menghilangkan hak-hak anak, kekerasan dalam rumah tangga, kualitas pengasuhan, yang ujung-ujungnya nanti misalnya bisa mengakibatkan stunting gizi buruk bagi anak yang dilahirkan dan seterusnya. Olehnya itu kita berharap para tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah desa itu bisa bergerak secara bersama untuk mengatasi masalah tersebut,” tambahnya.

Untuk diketahui, dengan melibatkan tokoh agama/masyarakat dan lembaga layanan berbasis masyarakat, dengan jumlah peserta sebanyak 35 orang diharapkan nantinya mampu memiliki kapasitas dan keterampilan terkait pola asuh positif sensitif gender, dan adanya rencana tindak lanjut untuk penjangkauan kepada masyarakat khususnya di Kabupaten Bone.

MAKASSAR — Di tengah hiruk-pikuk persiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, sejumlah organisasi perempuan dan masyarakat sipil di Sulawesi Selatan menegaskan perlunya perubahan mendasar dalam proses demokrasi. Selasa, 5 November 2024, mereka menggelar pertemuan untuk menyerukan pelaksanaan Pilkada yang bebas dari kekerasan berbasis gender dan mendorong hadirnya calon pemimpin yang berintegritas, serta peduli terhadap lingkungan dan kelompok rentan.

Tergabung dalam YPMP (Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan) Sulsel, YASMIB (Yayasan Swadaya Mitra Bangsa) Sulawesi, komunitas Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, LBH APIK, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulsel, dan YLK Sulsel, suara mereka menciptakan gelombang harapan di tengah tantangan yang ada. Dalam pernyataan mereka, kelompok ini menyoroti kekerasan berbasis gender yang kerap kali menjadi bayang-bayang gelap dalam setiap pemilu. Intimidasi terhadap perempuan, diskriminasi calon perempuan, dan pelecehan seksual merupakan beberapa bentuk kekerasan yang harus dihadapi.

Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Anging Mammiri, Suryani, menekankan bahwa masalah ini perlu mendapatkan perhatian serius. “Kekerasan berbasis gender adalah persoalan serius dalam pemilu. Kita perlu calon pemimpin yang bebas dari korupsi dan peduli terhadap isu-isu lingkungan serta kelompok rentan,” tegasnya. Ani, sapaan akrabnya, menambahkan bahwa seringkali isu penting terkait perempuan luput dari perhatian elit politik, yang lebih fokus pada strategi kemenangan. “Kami hadir untuk memastikan bahwa hal-hal ini menjadi bagian dari diskusi. Ini bukan hanya soal dukung-mendukung, tetapi juga tentang masa depan yang lebih baik bagi semua,” ujarnya.

Dalam konteks yang lebih luas, organisasi ini juga mengangkat isu krisis iklim yang semakin mempengaruhi kehidupan masyarakat, terutama perempuan, lansia, anak-anak, dan penyandang disabilitas. “Keadilan lingkungan harus menjadi prioritas. Pembangunan dan reklamasi yang tidak berkelanjutan sering kali merugikan kelompok-kelompok ini,” imbuhnya.

Suara perempuan harus didengar, terutama oleh para calon pemimpin yang akan datang. Mereka berharap agar siapa pun yang terpilih dapat menempatkan perempuan sebagai subjek dalam pembangunan. “Kami ingin suara perempuan dan kelompok rentan diperhitungkan dalam kebijakan dan program,” harap Ani.

Namun, selama ini pemerintah belum memberikan solusi yang tepat bagi kelompok rentan. Ketika berbicara tentang ketimpangan ekonomi, solusi yang diberikan sering kali tidak menyentuh akar masalah. “Masalah struktural yang dihadapi perempuan petani, nelayan, dan buruh migran tidak dapat diselesaikan hanya dengan program UMKM,” tegasnya.

Dengan semangat untuk mengubah wajah politik di Sulsel, organisasi perempuan ini pun mengajukan beberapa rekomendasi yang harus dipertimbangkan oleh calon pemimpin dan penyelenggara Pilkada:

Dengan semangat untuk mengubah wajah politik di Sulsel, organisasi perempuan ini pun mengajukan beberapa rekomendasi yang harus dipertimbangkan oleh calon pemimpin dan penyelenggara Pilkada:

  1. Mengakhiri segala bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan kelompok rentan.
  2. Mendorong kepemimpinan perempuan yang inklusif, bebas dari relasi politik yang tidak setara.
  3. Memastikan kepemimpinan perempuan mengakomodasi kebutuhan perempuan dalam kebijakan.
  4. Melibatkan perempuan petani, nelayan, buruh migran, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan.
  5. Menolak calon pemimpin yang merusak lingkungan dan mengeksploitasi sumber daya alam.
  6. Memastikan calon kepala daerah memiliki integritas, menghargai keberagaman, dan bebas dari kekerasan seksual.
  7. Menghentikan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan politik.
  8. Menyediakan sanksi bagi ASN yang tidak netral.
  9. Mengedepankan integritas, efektivitas, akuntabilitas, dan bebas dari perilaku koruptif dalam penyelenggaraan Pilkada.

Dalam momen krusial menjelang Pilkada ini, harapan akan pemimpin yang berintegritas dan sensitif terhadap isu-isu gender semakin menggema. Suara perempuan, yang selama ini terpinggirkan, kini semakin kuat dan menuntut keadilan dan kesetaraan dalam setiap langkah kebijakan.

 

https://sulsel.herald.id/2024/11/05/harapan-perempuan-sulsel-pilkada-2024-tanpa-kekerasan-dan-pemimpin-berintegritas/2/

Pada tanggal 30 September 2024, mahasiswa Kuliah Kerja Pengabdian (KKP) FISIP Universitas Muhammadiyah Makassar Angkatan XXIX ke Instansi YASMIB (Swadaya Mitra Bangsa) Sulawesi dalam hal Orientasi Pengenalan lingkungan YASMIB. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan mahasiswa kepada dunia nyata di dunia kerja atau instansi serta menjalin hubungan baik antara kampus dan instansi.

Tim KKP yang terdiri dari Melda Agriya Ningsih Nurdin sebagai Koordinator, bersama anggota Rista Talib, Fadiyah Zulfa Ramadhani, Friska, dan L. Littie, didampingi oleh Dosen Pendamping Ilham Riyadi, S.Pd., M.I.Kom, disambut dengan hangat oleh pihak YASMIB.

Muhammad Nur (Yuyu) selaku Divisi Hukum dan Kebijakan Publik mengapresiasi atas kedatangan mahasiswa KKP FISIP Unsimuh dan menyambut baik kerjasama Unismuh dengan menjadikan YASMIB Sulawesi sebagai tempat belajar Mahasiswa.

“Kami sangat mengapresiasi pihak Unismuh yang tetap berkomitmen membangun silaturahmi dengan menempatkan mahasiswanya di kantor kami, karena 4 tahun terakhir kami selalu mendampingi mahasiswa KKP FISIP di kantor kami, guna berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada mahasisawa” ucapnya

Selama pertemuan, dilakukan diskusi mengenai potensi kolaborasi dalam menciptakan program-program produktif yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Mahasiswa diperkenalkan kepada berbagai program yang telah dijalankan oleh YASMIB, serta tantangan yang dihadapi dalam implementasinya. Ini menjadi kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar langsung dari pengalaman praktis di lapangan.

Koordinator Melda Agriya Ningsih Nurdin menyampaikan harapannya bahwa kolaborasi ini dapat menghasilkan inisiatif yang tidak hanya bermanfaat bagi Yasmib tetapi juga meningkatkan reputasi dan pengalaman mahasiswa dalam pengabdian kepada masyarakat. Pihak Yasmib juga mengungkapkan komitmennya untuk mendukung mahasiswa dalam setiap kegiatan yang direncanakan.

Kedepannya, diharapkan kerjasama ini akan mengembangkan citra positif dari kedua belah pihak. Program-program yang akan dilaksanakan diharapkan dapat menjawab tantangan sosial yang ada, serta meningkatkan keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Semoga kolaborasi ini menjadi langkah awal yang baik dalam menciptakan inovasi yang berkelanjutan dan berimpact positif bagi masyarakat Sulawesi.

Dalam rangka Peningkatan Kapasitas Layanan Perlindungan Anak di Kabupaten Wajo, YASMIB Sulawesi yang didukung oleh UNICEF melalui Program BERANI II melaksanakan kegiatan “Peningkatan Kapasitas Layanan Perlindungan Anak berbasis Masyarakat untuk mencegah dan Merespon Perkawinan Anak dan VAC di desa dan Sekolah” dengan dihadiri oleh Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinsos DalDukKB Kabupaten Wajo sebagai narasumber dan pesertanya terdiri dari  UPTD PPA, PKK, PUSPAGA, KEMENAG, PEKSOS, PATBM, Kepala Desa dan Media serta tim YASMIB Sulawesi, pada Jum’at, 13-14 September 2024 di Sallo Hotel, Sengkang.

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatnya pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam mencegah dan merespon kasus perkawinan anak dan kasus kekerasa terhadap anak.

Kepala Bidang permberdayaan perempuan dan perlindungan anak (DP3A) Kabupaten Bone, Andi Satriani menyampaikan, sulit di lakukan pencegahan anak adalah ketika sudah ada uang Panai’ atau mahar. Sehingga yang harus kita lakukan secara massif adalah upaya pencegahan melalui pendekatan/edukasi dini kepada masyarakat supaya bagaimana mereka tidak memiliki keinginan untuk menikahkan anak-anaknya. Namun jika ada hal yang terjadi kita tetap menindaklanjuti.

“Untuk pemerintah desa, bagaimana nanti bisa menganggarkan atau mengedukasi ini ditingkat desa untuk evaluasi kegiatan kabupaten layak anak, sehingga kegiatan yang dilakukan di tingkat desa dan kelurahan dijadikan dokumen pendukung untuk mencapai kabupaten layak anak,”  tambahnya.

Dalam rangka Peningkatan Kapasitas Layanan Perlindungan Anak di Kabupaten Bone, YASMIB Sulawesi yang didukung oleh UNICEF melalui Program BERANI II melaksanakan kegiatan “Peningkatan Kapasitas Layanan Perlindungan Anak berbasis Masyarakat untuk mencegah dan Merespon Perkawinan Anak dan VAC di desa dan Sekolah” dengan dihadiri oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Bone sebagai narasumber dan pesertanya terdiri dari  UPTD PPA, PKK, PUSPAGA, KEMENAG, PEKSOS, PATBM, Kepala Desa dan Media serta tim YASMIB Sulawesi, pada Rabu, 11-12 September 2024 di Hotel Novena, Bone.

Kegiatan ini bertujuan untuk Meningkatnya pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam mencegah dan merespon kasus perkawinan anak dan kasus kekerasa terhadap anak.

Kepala DP3A Kabupaten Bone, St. Rosnawati menyampaikan, menurutnya kelompok PKK mampu memberikan andil karena didalamnya ada dasawisma, sehingga bisa bersama-sama berkolaborasi untuk menjalankan kegiatan yang akan dilakukan termasuk edukasi.

“Sehingga perlu ada peningkatan kapasitas kepada tenaga layanan dari bawah agar tidak berhenti disitu saja dan tetap mengalami perkembangan dalam pelayanannya, khususnya pada layanan perlindungan anak,”  tambahnya.

Rosniati Panguriseng selaku Direktur Eksekutif YASMIB Sulawesi dan juga merupakan fasilitator kegiatan menyampaikan bahwa kami telah coba mendeteksi di 6 desa dampingan ini apakah ada data kehamilan anak yang mereka miliki.

“Khusus untuk pemerintah desa, kami akan uji coba bagaimana pendataan berbasis desa terkait dengan kasus perkawinan anak,” ungkapnya.

Dalam upaya menekan angka perkawinan anak, YASMIB Sulawesi dan UNICEF melakukan diseminasi draft Strategi Daerah (Strada) Pencegahan Perkawinan Anak (PPA) Provinsi Sulawesi Selatan, di Hotel Remcy. Senin, 12 Agustus 2024.

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, YASMIB Sulawesi dan UNICEF telah melakukan review dokumen STRADA PPA Provinsi Sulawesi Selatan bersama Tim Penyusun STRADA Sulsel. Adapuan beberapa catatan dalam pertemuan riview STRADA PPA antara lain; STRADA PPA Sulsel telah berakhir pada tahun 2023 dan akan membuat STRADA PPA Sulsel yang baru dengan merujuk pada dokumen Rencana Pembangunan Daerah (RPD) Sulsel, Penyusunan STRADA PPA Sulsel akan disesuaikan dengan panduan praktis pelaksanaan STRANAS PPA di daerah, perlu ada penyesuaian intervensi Strategi dengan membuat indikator sasaran Pencegahan Perkawinan Anak yang bisa diukur setiap tahunnya.

Mengacu dari pertemuan tersebut maka selanjutnya tim YASMIB dan UNICEF menyampaikan diseminasi Strada PPA dengan harapan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan berkomitmen menggunakannya sebagai bahan rujukan dalam proses penyusunan kebijakan perencanaan dan penganggaran daerah, terutama dalam perencanaan penganggaran yang terkait dengan pencegahan dan penanganan perkawinan anak.

Sekretaris Bappelitbangda Sulawesi Selatan Dr. Andy, M.Si menyampaikan bahwa capaian persentase perkawinan anak di Sulawesi Selatan tiga tahun terakhir (2021-2023) mengalami fluktuasi dimana pada tahun 2021 mencapai 9,25% dan tahun 2022 meningkat menjadi 9,33% dan menurun pada tahun 2023 yaitu 7,48%. Namun angka tersebut masih diatas angka rata-rata nasional 6,92%.

“Melalui kegiatan ini, diharpakan dapat menurunkan angka perkawinan anak di Sulawesi Selatan,” Tambahnya.

Selain itu, Tria Ameliah selaku spesialis perlindungan anak UNICEF Sulawesi dan Maluku menyampaikan, Strada PPA Sulawesi Selatan menjadi sebuah kompas untuk kabupaten/kota lainnya, khususnya Kabupaten Wajo, Bone dan Bulukumba.

“Strada yang dibuat oleh Provinsi Sulawesi Selatan akan menjadi centolan untuk 24 Kabupaten/kota, namun yang paling penting dalam pembuatan Strada ini tidak hanya menjadi dokumen tetapi bisa menjadi komitmen kuat untuk kita demi masa depan anak dan tidak terjerat dalam lingkungannya,” ungkapnya.

Dilain sisi perkawinan anak di sulawesi selatan tidak hanya pada kasus-kasus yang terdata tetapi menurut Tria Amelia perkawinan anak yang tidak terdata perlu diidentifikasi seperti perkawinan siri baik muslim maupun non-muslim.

“Perkawinan siri inilah yang sebenarnya perlu ditemukan datanya dan pelaku dari pekawinan siri khsusunya di usia anak,” tegasnya.

YASMIB Sulawesi & UNICEF melakukan audience dengan Pemerintah Kabupaten Wajo. Better Sexual and Reproductive Health and Right for All in Indonesia II (BERANI II) merupakan sambungan program BERANI I yang dilakukan pada tahun 2022. Fokus BERANI I yakni Penguatan Pendidikan Kecakapan Hidup dan pencegahan perkawinan anak dengan sasaran anak dan remaja serta Intervensi orang tua dalam mencegahan terjadinya perkawinan anak.

Kegiatan dilaksanakan di Four Point Makassar pada Jumat, 19 April 2024. Diskusi ini dihadiri oleh Pj. Bupati dan Tria Amelia T dari UNICEF. Selain itu, pertemuan ini juga dihadiri oleh Kadis SOSP2KBPPPA, Direktur Eksekutif YASMIB Sulawesi, Tim Program BERANI II, Tim Program OCSEA dan BAKTI.

Audience bersama Pj. Bupati Wajo

Audience bersama Pj. Bupati Wajo

Pj. Bupati Wajo Andi Bataralifu, sangat merespon baik program BERANI II yang akan berjalan di Kabupaten Wajo. Salah satu penyebab angka perkawinan anak di Kabupaten Wajo tinggi adalah pandangan agama (akil baligh) “sudah akil baligh jadi sudah bisa menikah”.

Tria Amelia T dari UNICEF menjelaskan impelementasi program OCSEA & Pesantren Ramah Anak yang telah dilakukan di Kabupaten Wajo. Sementara Rosniaty Azis dari YASMIB Sulawesi yang menjelaskan rencana kerja BERANI II yang akan dilakukan di Kabupaten Wajo.

Dalam proses diskusi Tim YASMIB Sulawesi dan UNICEF mendapatkan begitu banyak masukan dari Pj Bupati Wajo. Beberapa diantaranya adalah 1). Melakukan pemetaan stakeholder yang mendukung implementasi program baik di level desa, kecamatan dan kabupaten. 2). Komunikasi dengan Dinas Pendidikan untuk melibatkan guru SMP dalam implementasi program. Selain Diknas, DPMD juga perlu untuk melihat desa apa saja yang mengalokasikan anggaran untuk perlindungan anak.

Selain itu, Pemerintah Kabupaten akan merevisi Peraturan Bupati tentang Sistem Perlindungan Anak. Revisi tersebut akan disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 12 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual khususnya pada pasal 10 yang berbunyi “setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara 9 tahun dan denda sejumlah Rp. 200.000.000”.

 

Pewarta      : Andri Siswanto

Editor          : Ikra

Fotografer : Restu Nova Ersi

YASMIB Sulawesi bersama UNICEF melakukan audience awal progam Better Sexual and Reproductive Health and Right for All in Indonesia II (BERANI II) dengan pemerintah Kabupaten Bone di ruangan Bappeda. Kamis, 18 April 2024.

Melalui program BERANI II akan meningkatkan Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi Perempuan dan anak muda di Kabupaten Bone.

Kegiatan diawali dengan pembukaan oleh Kepala Bappeda Bone Dr. H. Ade Fariq Ashar, S.STP, M.Si. Dalam pembukannya Beliau menyambut baik program BERANI II yang akan berjalan di Kabupaten Bone, mengingat pada BERANI I sebelumnya sangat membantu Pemerintah Kabupaten dalam menurunkan angka perkawinan anak.

Ia menyampaikan, Pemerintah Kabupaten terbantu dalam membuat inovasi daerah dan alhamdulillah Inovasi SIP-PEKA (Strategi Pencegahan Perkawinan Anak) menjadi 45 Top inovasi se-Indonesia. Semoga BERANI II melahirkan inovasi-inovasi baru bagi Kabupaten Bone.

Setelah itu, dilanjut dengan pemaparan dari UNICEF yang diwakili oleh Bu Amelia Tristiana yang memaparkan implementasi program OCSEA dan Pesantren Ramah Anak di Kabupaten Bone.

Rosniaty Azis selaku Direktur Eksekutif YASMIB Sulawesi juga memaparkan rencana kerja BERANI II tahun 2024-2025. Secara umum BERANI II diharapkan mampu meningkatkan HAK dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi Perempuan dan anak muda di Kabupaten Bone.

BERANI II akan berfokus pada memperkuat pemerintah dan koordinasi lintas sektor, memperkuat kapasitas anak, memperkuat kapasitas orang tua atau pengasuh, dan meningkatkan layanan perlindungan anak.

Pada kegiatan ini, beberapa stakeholder hadir seperti Bappeda, DPMD, DP3A, Kemenag dll. Peserta begitu aktif dalam memberikan informasi untuk memperkuat implementasi program yang akan dilakukan di Kab. Bone.

Akhir sesi kegiatan, Kepala Bappeda menyampaikan beberapa poin penting seperti Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa perlu melakukan tracking dalam dokumen APB Desa di semua desa untuk melihat desa apa saja yang memiliki anggaran perlindungan anak. Selain itu, Kemenag juga perlu melakukan tracking pesantren dengan membuat kategori sesuai hasil diskusi kita.

 

Pewarta: Andri Siswanto

Editor: Ikra

Foto: Restu Nova Ersi

MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Kiprah perempuan di panggung politik masih sangat minim dimana perempuan masih dianggap belum mampu untuk melebarkan sayapnya dipanggung politik.

Lantas bagaimana peran emak-emak kedepan. Bertepatan tanggal 22 Desember memperingati hari ibu. Bentuk peringatan tersebut bersifat tak sekadar domestik saja, tetapi ada yang memperingati dengan hal-hal bermakna dan bersifat edukatif guna refleksi untuk mengenang jasa perjuangan kaum perempuan.

Ketua KPU Sulsel, Hasbullah mengatakan bahwa dalam DCT dari masing-masing parpol terhadap 85 caleg hampir rata-rata terdapat caleg perwakilan perempuan.

“KPU menetapkan 1.138 DCT lewat rapat pleno serentak pada tanggal 3 dan diumukan ke publik tanggal 4 November 2023. Jumlahnya  persentase perempuan 404 orang,” singkatnya, Kamis (21/12/2023).

Menurut pengurus IKA Unhas itu, dalam penetapan DCT KPU  merujuk pada ketentuan Pasal 85 Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

“Sesuai PKPU, saat sebelum penetapan DCT anggota DPRD Provinsi pada Pemilu 2024, kami lakukan verifikasi jumlah yang memenuhi syarat untuk masuk DCT dari 18 parpol di Sulsel,” katanya.

Sesuai data yang dihimpun wartawan Harian Rakyat Sulsel, jika berkaca pada pemilu 2019 lalu. Dari 4 kursi DPD RI hanya 1 perwakilan perempuan. Sedangkan kursi DPR RI yang kuota 24, hanya 5 perempuan duduk di Senayan. Sedangkan DPRD Sulsel daei total 85 kursi, hanya 23 orang mewakili kaum perempuan terpilih.

Memasuki Pemilu 2024 tentu momentum bagi Perempuan tampil lebih semangat di panggung politik. Baik pileg dan pilkada untuk mengisi jabatan strategi.

Sesuai DCT 2024, untuk calon senator DPD RI kini 18 orang, mayoritas laki-laki, hanya 2 perempuan refresentasi kaum Hawa. Sedangkan caleg DPR RI sebanyak 406 orang dari dapil Sulsel, hanya 140 perempuan.

Dan untuk DPRD Provinsi 2024, sebanyak 1.138 caleg DPRD Provinsi Sulsel akan memperebutkan 85 kursi. Kini 404 masuk dalam DCT persaingan nantinya.

Secara terpisah, Rosniaty Azis selaku Presidium Nasional Perempuan Ibu Rumah Tangga, Koalisi Perempuan Indonesia. Berharap momentum Hari Ibu 2024 dan pemilu, agar partai politik dapat memberikan ruang kepada kaum perempun.

“Partai politik wajib memastikan bagi caleg Perempuan di partai politik, parptai wajib memastikan suara Perempuan terjaga dan tidak dicurangi,” harapnya, saat dimintai tanggapan.

Menurutnya, pengalaman pada pemilu tahun 2019, bagaimana seorang caleg Perempuan memiliki suara terbanyak di partainya. Menurut daerah pemilihannya dan memenuhi syarat untuk dilantik yang terpilih untuk DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.

Kemudian malam sebelum pelantikan keluar surat pemberhentian dari partai, tanpa proses dan mekanisme partai. Dan kemudian digantikan oleh caleg laki-laki dengan nomor urut di bawahnya.

Ini kan tentunya sangat merugikan bagi Perempuan dan memnghambat jalan Perempuan untuk duduk dalam posisi strategis. Proses seperti ini tentunya dapat menjadi pengalam buruk bagi caleg tersebut untuk maju kembali dalam kontestasi pemilu.

“Saya berharap hal seperti ini tidak terulang lagi, partai tidak hanya menjadikan Perempuan sebagai pengumpul suara,” tutur Direktur Eksekutif Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (YASMIB) Sulawesi itu.

Lebih lanjut, dia memberikan pandangan edukasi. Untuk pemilih Perempuan, partai wajib memberikan Pendidikan politik yang benar tanpa money politic. Dalam proses ini cara-cara yang berintegritas perlu dilakukan oleh partai dalam memperoleh dukungan suara dari Perempuan.

“Termasuk bagaimana partai membangun komuniksai kepada pemilih terkait keberpihakan mereka  terhadap isu-isu Perempuan,” katanya ibu yang kini aktif dalam organisasi aktivis perempuan itu.

Sejatinya perempuan tidak harus mengurus rumah tangga, melayani suami, dan mendidik anak-anak. Akan tetapi masuk kedunia politik, karena keterwakilan perempuan masih sangat minim dibawah laki-laki.

Persoalan ketidaksetaraan gender masih sangat tercermin jelas di dalam rendahnya perwakilan kaum perempuan di struktur lembaga perwakilan Indonesia saat ini.

Lantas bagaimana melihat peran perempuan dipanggung politik tahun sebelumnya. Dan apa dilakukan agar bisa tampil di panggung politik tahum akan datang. Menanggapi hal ini, Rosniaty Azis menyebutkan, tidak bisa dipungkiri bahwa peran Perempuan di panggung politik selama ini, dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Bahkan di Sulawesi Selatan, dalam periode 2019-2024, DPRD dipimpin oleh legislator Perempuan. Ini merupakan torehan Sejarah yang pertama kalinya DPRD Sulsel dipimpin oleh seorang Perempuan.

“Tapi, meskipun demikian, tidak bisa juga dinafikkan jika peran-peran perempuan dalam dunia publik masih belum secara optimal dirasakan bagi masyarakat,” terangnya.

Dia menyebutkan, publik masih sangat berharap, agar perempuan dalam panggung politik bisa memberikan pengaruh siginifikan dalam proses dan pengambilan Keputusan terkait kebijakan public yang lebih sensitive gender dan inklusif.

“Termasuk, bagaiman mereka juga mewarnai lingkungan politik yang lebih berintegritas tanpa korupsi,” jelasnya.

Kaitan dengan melihat dinamikan pertarungan perebutan kursi di setiap lembaga. Dengam quota 30 persen, apakah menjamin hak perempaun? Dia menegaskan, seharusnya kebijakan quota 30 persen dapat menjamin hak Perempuan untuk mendapatkan akases dalam jabatan publik.

Tetapi faktanya, ternyata kebijakan ini tidak sepenuhnya dipatuhi oleh sebagian pihak yang memiliki kewenangan dalam penentuannya. Mereka belum sepenuhinya konsisten dalam menerapkannya.

Dia juga mempertanyakan, apakah pemegang kewenangan atas penentuan Perempuan dalam posisi tersebut paham akan makna dan substansi quata 30 persen atau tidak.

Dalam hal ini memang sanhat dibutuhkan iklim politik yang sensitf gender, untuk memastikan quota 30 persen tersebut terpenuhi.

“Jika quota 30 persen sudah terpenuhi, maka PR selanjutnya adalah memastikan Perempuan yang duduk dalam posisi tersebut juga memilki sensitifitas gender dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya,” sebutnya.

Harapan di hari ibu, terkait apa perlu dibenahi generasi muda kalangan perempuan. Ia menitipkan pesan ke generasi perempuan. Kata dia, sangat menyadari bahwa untuk menjadi politikus atau pemimpin yang berhasil, tenrnyata tidak ada jalan bebas hambatan untuk.

Sebaliknya jalan tersebut bercabang-cabang, terjal dan berbatu. Namun kita bisa belajar dengan memahami bagaimana Perempuan dapat mempelajari berbagai dinamika politik selama ini.

“Dan mengambil sisi positifnya menjadi pembelajaran dalam mempraktikkannya pada masa kini dan yang akan dating,” pesan Rosniaty Azis.

Ditambahkan, bagi generesi muda yang sekarang ini banyak dikenal sebagai GenZ yang memehi syarat sebagai pemilih, mereka adalah salah satu kelompok pemilih yang menjadi primadona peserta pemilu.

Karena selain jumlahnya yang besar, juga karena  generasi muda dianggap dapat membawa ide-ide baru yang bisa mendorong perubahan.

Ia berharap, pada pemilu tahun 2024 ini, mereka tidak apatis dalam perilaku politik yang terjadi selama  ini, harus menggunakan hak pilihnya alias tidak menjadi golput (golongan putih).

“Sebab keputusan politik yang mereka ambil akan ikut berpengaruh terhadap nasib bangsa ini 5 tahun ke depan, termasuk pada nasib Peremouan dan anak yang membutuhkan pemenuhan hak dan perlindungan,” harapnya.

Sedangkan, pengamat politik UIN Alauddin Makassar, Firdaus Muhammad mengungkapkan bahwa jika melihat latar belakang hari ibu, sejarah mencatat dicetuskannya di Indonesia merupakan tonggak perjuangan perempuan untuk terlibat dalam upaya merebut kemerdekaan.

Mantan Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi itu menyebutkan, tahun 2024 bertepatan pemilu. Menjadi momentum bagi perempuan, sebagai motor penggerak keberhasilan pembangunan di masa mendatang.

“Tentu, perempuan dalam sektor politik juga menunjukkan perubahan-perubahan progresif ketika mereka terlibat hadir memimpin dan mengambil keputusan berdasarkan pengalaman-pengalaman konkrit perempuan dalam kehidupan sehari-hari,” harapnya.

Dia menilai, dalam wacana budaya, sudah tidak perlu diragukan lagi, bahwa perempuan adalah garda penting untuk terlibat dalam berbagai kesempatan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik.

Apalagi, kata dia. UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memang telah mengamanatkan bahwa dalam menentukan komposisi di panggung politik harus memperhatikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan.

“Namun realisasinya masih belum terlaksana maksimal,” jelaanya.

Di tahun mendatang, perlu agenda-agenda seperti sosialisasi pendidikan politik perempuan akan terus dilakukan parpol. Ini adalah langkah yang penting untuk mengadakan lebih banyak kegiatan terkait perempuan dalam politik di masa depan.

Menurutnya, keterlibatan perempuan dalam panggung politik bukan sekadar jadi tim hore. Namun keberadaan mereka guna mewujudkan demokrasi yang lebih inklusif dan representatif.

“Perempuan memiliki perspektif yang berbeda dari laki-laki, dan perspektif ini penting untuk diwakili dalam proses pengambilan keputusan di lembaga publik dan sosial,” pungkasnya.

Terpisah, Ketua KPU Sulsel, Hasbullah mengatakan bahwa dalam DCT dari masing-masing parpol terhadap 85 caleg hampir rata-rata twrdapat caleg perwakilan perempuan.

“KPU menetapkan 1.138 DCT lewat rapat pleno serentak pada tanggal 3 dan diumukan ke publik tanggal 4 November 2023. Jumlahnya  persentase perempuan 404 orang,” singkatnya.

Menurut pengurus IKA Unhas itu, dalam penetapan DCT KPU  merujuk pada ketentuan Pasal 85 Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

“Sesuai PKPU, untuk DCT anggota DPRD Provinsi pada Pemilu 2024, setelah kami verifikasi jumlah yang memenuhi syarat untuk masuk DCT dari 18 parpol di Sulsel,” katanya. (Yadi/B)

 

Sumber: https://rakyatsulsel.fajar.co.id/2023/12/21/hari-ibu-2023-404-caleg-perempuan-dprd-sulsel-diharap-bukan-sekedar-tim-penggembira/7/