Terkini.id, Makassar – Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib) Sulawesi minta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan (Sulsel) di bawah kepemimpinan Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman Sulaiman melaksanakan pembangunan berbasis data terpilah.

Hal ini disampaikan pada acara Konferensi Pers dan Diskusi Awal Tahun Yasmib Sulawesi, Selasa 8 Januari 2019 di Kafe Independen.

Menyusun perencanaan anggaran pembangunan harus berbasis data terpilah, agar tidak ada uang rakyat yang terbuang percuma.

“Tidak asal membuat perencanaan program dan habiskan anggaran,” kata Direktur Yasmib Sulawesi Rosniaty Azis.

Rosniaty mencontohkan, data penyandang disabilitas di Sulawesi Selatan dalam bentuk ragam dan jenisnya terakhir terekam pada tahun 2010. Masyarakat selalu mendengar bahwa ada sekian persen penyandang disabilitas, tapi pertanyaannya, apakah ada datanya berbasis nama dan alamat yang jelas?

YASMIB Sulawesi sangat berharap dalam rancangan RPJMD Sulawesi Selatan, data ini secara tegas tertuang dalam bab tentang gambaran umum wilayah Sulawesi Selatan. Supaya bisa menjadi dasar untuk perencanaan program pembangunan yang inklusif bagi disabilitas, seperti yang menjadi janji politik pada saat Pilkada lalu.

Ketiadaan data berdampak kepada pelaksanaan program yang tidak tepat sasaran. Kebutuhan penyandang disabilitas terhadap layanan dasar pemerintah pun sulit terwujud. Pemerintah sudah punya Perda Disabilitas. Tapi pelaksanaannya belum dirasakan masyarakat.

“Membangun tanpa data berarti sudah merencanakan untuk korupsi,” kata Rosniaty.

Contoh lain yang diungkap Rosniaty, pembangunan di Sulawesi Selatan yang tidak menggunakan data dan survei kebutuhan masyarakat adalah pembangunan sistem tranportasi massal. Biasa disebut BRT. Fasilitas ini belum dimanfaatkan dengan baik.

“Karena sistem operasinya tidak lengkap. Masih banyak sarana dan prasarana yang kurang,” ungkap Rosniaty.

Pemda Harus Terbuka

Pemerintah juga diminta terbuka dalam hal informasi dan data terkait anggaran daerah kepada masyarakat. Agar masyarakat bisa memberikan masukan dan tanggapan terhadap rencana pembangunan.

“Kalau kita buka website pemerintahan, data yang tersaji tidak update. Di era digital seperti saat ini, harusnya pemerintah menyajikan informasi terkaot perencanaan dan penganggaran pembangunan dalam portal daerah, termasuk tentunya Informasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah” ungkap Rosniaty.

Data yang menyangkut persoalan publik harus diungkap. Masyarakat juga harus tahu dan terlibat dalam pembangunan. Sebab rakyat juga membayar pajak.

“Jangan selalu memposisikan masyarakat selalu berada di luar sistem,” katanya.

Menurut Rosniaty, pemerintah memang punya Dokumen Penggunaan Anggaran (DPA). Tapi dokumen ini sulit diakses masyarakat. Seperti dirahasiakan.

“Tidak pernah dibuka ke publik,” ungkapnya.

Fadli A Natsif akademisi yang hadir dalam diskusi mengatakan, minimnya informasi pemerintah khususnya terkait penganggaran daerah ini dinilai melanggar hak masyarakat dalam mendapatkan informasi publik.

“Masyarakat yang dirugikan bisa menggugat,” kata Fadli

Pemerintah daerah harus menyajikan anggarannya di portal resmi. Agar masyarakat bisa mengakses dan mengontrol belanja daerah.

Pemerintah Daerah Belum Patuh

Catatan Pada Konferensi Pers dan Diskusi Awal Tahun 2019 dilaksanakan oleh Yasmib Sulawesi dan SEKNAS FITRA menunjukkan, masih ada daerah di Sulawesi Selatan yang belum patuh terhadap pengeluaran wajib (Mandatory Spending).

Kabupaten Selayar, Kabupaten Tana Toraja, dan Kota Palopo belum memberikan 20 persen anggaran untuk urusan pendidikan dari total APBD tahun 2018.

Padahal untuk meningkatkan pelayanan pendidikan, pemerintah daerah harus konsisten dan berkesinambungan mengalokasikan anggaran fungsi pendidikan minimal 20 persen dari belanja daerah. Sesuai Undang-Undang nomor 20 tahun 2003.

Dalam proses diskusi, kecenderungan hasil analisis YASMIB ini berkorelasi dengan temuan ORI Sulawesi Selatan terkait kualitas pelayanan pendidikan. Kritik lain dari analisis anggaran daerah ini baik daerah yang anggarannya tertinggi maupun masih dinilai rendah terkait sektor pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial tersebut, proporsi dalam belanja langsung lebih tinggi alokasinya untuk belanja pegawai.

Sebagaimana diketahui peruntukan belanja langsung adalah untuk pelaksanaan program/kegiatan, namun data menunjukkan di dalamnya justru masih lebih tinggi untuk belanja pegawai.

Hal tersebut diamini oleh Ketua Ombudsman Sulawesi Selatan Subhan yang hadir selaku penanggap, bahwa dalam belanja langsung itu terkadang banyak dialokasikan untuk perjalanan dinas OPD. Menurutnya, Terkadang sulit dibedakan perjalanan dinas atau perjalanan wisata atau perjalanan wisata yang didanai anggaran perjalanan dinas.

Perlindungan sosial juga menjadi kewajiban pemerintah untuk memerangi kemiskinan. Tapi data Kementerian Keuangan tahun 2018 menyebut, belanja perlindungan sosial beberapa pemerintah daerah di Sulawesi Selatan masih di bawah 1 persen.

“Pemerintah wajib meningkatkan belanja perlindungan sosial, salah satunya untuk mendukung pencapaian tujuan SDG’s,” ungkap Rosniaty.