Pos

YASMIB Sulawesi bekerjasama UNICEF mengadakan Pelatihan Pencegahan Perkawinan Anak dan Nikah Siri bagi Tokoh Agama dan Masyarakat (Termasuk Imam Desa) untuk Mendorong Norma-norma Sosial yang Positif dengan melalui program Better Reproductive Health and Rights For All in Indonesia (BERANI) II”. Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, mulai Jumat, 20 s/d Sabtu, 21 Desember 2024, di Makasaar Room Hotel Novena Watampone.

Program BERANI II merupakan program kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Canada yang dilaksanakan oleh YASMIB Sulawesi dan UNICEF yang khususnya di Kabupaten Bone dan Wajo dengan tujuan meningkatkan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan dan orang muda.

Perkawinan anak merupakan fenomena yang erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya, sosial, dan agama yang terdapat dalam masyarakat. Secara umum, masyarakat dengan pola hubungan tradisional, pernikahan dianggap sebagai suatu kewajiban sosial yang memiliki nilai sakral dan menjadi bagian dari warisan tradisi. Sementara itu, pada masyarakat modern yang lebih rasional, perkawinan lebih sering dianggap sebagai sebuah kontrak sosial yang berbasis pada pilihan individu. Sudut pandang tradisional terhadap perkawinan sebagai kewajiban sosial ini, memiliki kontribusi yang signifikan terhadap fenomena pernikahan dini yang masih sering dijumpai di Indonesia.

Salah satu faktor penyebab terjadinya perkawinan anak diantaranya adalah adanya nilai yang diyakini secara kuat oleh masyarakat dan berlaku secara turun temurun sampai saat ini yaitu bahwa jika anak perempuan sudah haid dan belum menikah maka diberikan label sebagai “Anak Dara Lado” atau dianggap anak perempuan yang tidak laku. Pelabelan masyarakat yang bias gender ini lebih umum berlaku untuk anak perempuan, bagi laki-laki hanya berlaku jika belum menikah pada usia rata-rata diatas 25 tahun.

Artinya, perkawinan di bawah usia 19 tahun melanggar hak anak atas pendidikan, kesenangan, kesehatan, kebebasan berbicara dan diskriminasi. Proses perkawinan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dan kebiasaan yang diikuti oleh warga masyarakat. Selain itu, pola asuh yang tidak tepat, berdampak pergaulan anak yang tidak terkontrol oleh orang tua atau pengasuh.

Maka dari itu, peran agama sebagai salah satu faktor sosial, budaya, dan moral memiliki potensi besar untuk mencegah terjadinya perkawinan anak di Indonesia. Agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Buddha, maupun agama-agama lainnya, memiliki ajaran dan nilai-nilai yang mengajarkan tentang pentingnya menunda perkawinan hingga usia yang matang dan siap secara fisik, mental, dan ekonomi.

Selain itu, agama juga memiliki peran dalam memberikan pemahaman dan pedoman mengenai hak-hak dan kewajiban dalam perkawinan. Peran tokoh agama sangat penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Oleh karena itu, tokoh agama harus dapat mencarikan solusi atas persoalan umatnya untuk mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan secara komprehensif.

Rosniaty Panguriseng, S.P., M.Si selaku Direktur Eksekutif YASMIB Sulawesi menyampaikan, tujuan dari kegiatan pelatihan ini, untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan tentang dampak perkawinan anak dan nikah siri anak serta mampu menerapkan norma-norma sosial yang positif. Jadi harapannya bagaimana upaya pencegahan perkawinan anak ini kita bisa bergerak secara bersama khususnya terkait dengan perkawinan siri bagi anak, karena perkawinan ini tidak tercatat meskipun dalam agama sah jika memenuhi rukun nikah tetapi tidak sah menurut hukum negara. Perkawinan anak ini artinya lebih banyak mudaratnya dibandingkan manfaatnya, segala sesuatu yang banyak mudaratnya harusnya kita tinggalkan.

“Kenapa banyak mudaratnya karena bisa menimbulkan berbagai masalah diantaranya ekonomi keluarga, menghilangkan hak-hak anak, kekerasan dalam rumah tangga, kualitas pengasuhan, yang ujung-ujungnya nanti misalnya bisa mengakibatkan stunting gizi buruk bagi anak yang dilahirkan dan seterusnya. Olehnya itu kita berharap para tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah desa itu bisa bergerak secara bersama untuk mengatasi masalah tersebut,” tambahnya.

Untuk diketahui, dengan melibatkan tokoh agama/masyarakat dan lembaga layanan berbasis masyarakat, dengan jumlah peserta sebanyak 35 orang diharapkan nantinya mampu memiliki kapasitas dan keterampilan terkait pola asuh positif sensitif gender, dan adanya rencana tindak lanjut untuk penjangkauan kepada masyarakat khususnya di Kabupaten Bone.