Yasmib Sulawesi, Dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional disebutkan bahwa pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.

Upaya dimaksud dilaksanakan oleh semua komponen bangsa. Definisi ini mereperesentasikan kesadaran pemerintah bahwa pembangunan bersifat lintas bidang, sehingga harus dijalankan dengan memberdayakan semua potensi bangsa.

Sejatinya, tujuan pembangunan baik di tingkat nasional maupun daerah, adalah dalam rangka untuk kesejahteraan masyarakatnya. UU No: 25 tahun  2009 Tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa setiap warga negara  mendapatkan pelayanan publik yang adil. 

Salah satu indicator penting di dalamnya adalah masyarakat mendapatkan pelayanan yang adil untuk semua. Tak terkecuali kelompok marginal. Perempuan, anak dan disabilitas/difabel/penyandang cacat (Saat ini lebih disarankan untuk menggunakan istilah disabilitas/difabel setelah terbitnya UU No 19 tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities/Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

Khusus berbicara disabilitas, aksesibilitas merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan mereka. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi difabel guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Hal ini dalam rangka menuju pembangunan yang inklusif. Salah satu di dalamnya adalah inklusi social.

Inklusi sosial adalah proses membangun hubungan sosial dan menghormati individu serta komunitas, sehingga mereka yang marjinal dan mengalami prasangka dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, serta memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber daya (untuk memenuhi kebutuhan dasar) dalam rangka menikmati standar kesejahteraan yang dianggap layak di dalam kelompok  masyarakat yang bersangkutan (World Bank PSF, Peduli Phase II Design, 2013) 

Secara global dan Indonesia, pembahasan isu difabel dan pengalaman orang yang hidup dengan disabilitas selalu diirngi stigma dan persepsi yang menempatkan mereka dalam perbedaan atau konteks luara biasa. Hal ini menyebabkan perlakuaan tidak layak atau diskriminasi terhadap difabel. Baik secara individu maupun kelompok untuk mendapatkan layanan dasar.Menindakdaklanjti ratifikasi Hak Asasi Penyandang Disabilitas pada bulan November 2011 berbagai upaya pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dan pelayanan social di Indonesia mulai berusaha mengintegrasikan upaya inklusi disabilitas dalam berbagai program pembangunan dan kemajuan.

Meskipun demikian, upaya-upaya inklusi disabilitas lintas sektoral yang dilakukan oleh berbagai pihak dan kalangan masih terkesan parsial dan tidak efektif Karena kurangnya koordinasi, baik di tingakat nasional maupun wilayah/daerah.  Sering kali individu dan kelompok difabel yang ingin mendapatkan layanan akses kesehatan, pendidikan atau kredit usaha kecil dirujuk ke Dinas Sosial yang masih berprinsip belas kasihan, santunan atau kompensasi.

Salah satu faktor kunci yang mempersulit inklusi difabel dalam program layanan dasar yang tersedia adalah ketidakcocokan ideologi. Pembentukan program layanan umum belum bisa mengakomodasi prinsip hak difabilitas karena awalnya penangganan difabilitas dilandasi oleh persepsi difabel sebagai kelompok yang tidak mempunyai kemampuan, bukan kelompok yang berpotensi untuk dikembangkan. 

Banyak bangunan pusat layanan kesehatan dan rumah sakit tidak dapat diakses dengan mudah oleh difabel dan lansia, terutama yang mengunakan kursi roda atau terbatas mobilitasnya, informasi kesehatan tidak tersedia dalam bahasa dan format yang mudah dipahami bagi kelompok netra, tuli dan grahita.

Tidak dipungkiri bahwa kalangan difabel sendiri memiliki kesadaran rendah akan layanan kesehatan atau pelatihan kesehatan yang tersedia di kampung atau kota.

Selain itu, banyak tenaga atau kader kesehatan tidak memahami cara menjangkau atau melayani penyandang difabel. Beberapa kader kesehatan di Sumba Timur berbagi bahwa mereka tidak begitu nyaman untuk berkomunikasi dengan difabel. 

Faktor biaya sering disebutkan oleh penyandang difabel sebagai hambatan besar untuk mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan. Secara teknis, biaya kesehatan bagi kelompok rentan digratiskan selama mereka memiliki Kartu Sehat, namun bantuan kesehatan yang diberikan tidak mencakup biaya transportasi, makanan, akomodasi atau bahkan biaya untuk pendamping. Bagi penyandang difabel yang mobilitasnya terhambat (berat atau ringan), mereka harus menggunakan transportasi alternatif yang kadang memakan lebih banyak biaya dan waktu, apalagi mengingat sarana dan prasarana transportasi dikota dan desa sangat tidak memadai.

Sehubungan dengan permasalahan di atas, YASMIB Sulawesi kerjasama dengan LPP Bone atas dukungan Kemenko PMK (Pembengunan Manusia dan Kebudayaan) RI dan The Asia Foundation akan melaksanakan Seminar dan Lokakarya Pembangunan Kesehatan yang Berbasis Kebutuhan Disabilitas  kabupaten Bone. Kegiatan tersebut  sebagai salah satu rangkaian kegiatan dari Program Peduli Pilar Difabel di Sulawesi Selatan. Dengan tujuan “Peningkatan pemahaman stakeholder terkait  disabilitas/difabilitas, Melakukan pemetaan permasalahan pembangunan kesehatan yang responsive disabilitas di Kabupaten Bone, Menyusun Rumusan rekomendasi kepada pemerintah terkait akses layanan kesehatan yang pro disabilitas” Kegiatan ini terlaksana pada Senin/7 September 2015 bertempat  Hotel Novena Bone.

Program Peduli Pilar Difabel yang dilaksanakan oleh YASMIB Sulawesi kerjasama dengan Mitra local LPP Bone di Bone dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulawesi Selatan untuk wilayah Gowa  dalam rangkaian Mendorong upaya inklusi social untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan di Kabupaten Bone dan Gowa Provinsi Sulawesi Selatan.

Program ini telah terimplementasi sejak akhir Mei 2015 lalu. Telah ada beberapa rangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan, mulai dari peningkatan kapasitas internal  Tim pelaksana program dan DPO serta relawan desa, koordinasi dengan  pemerintah tingkat kabupaten sampai desa dan pihak terkait lainnya, pertemuan di tingkat desa dengan penyandang disabilitas serta Theory of Change.

Rangkaian  program telah berjalan selama kurang lebih 4 bulan ini, salah satu hal penting untuk dilaksanakan yang  memang merupakan bagian dalam system manajemen proyek adalah Monitoring dan Evaluasi Program. Monev menjadi penting untuk melihat capaian awal program dan untuk mengevaluasi kinerja (perencanaan dan capaian). Apakah kebijakan, metode dan actor/pihak yang terlibat sesuai dengan arah dan  tujuan program.

Penilaian dalam rangakaian Monev tersebut akan menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan program selanjutnya. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah Learning, atau pembelajaran.

Proses ini dilakukan seiring dengan Monitoring dan Evaluasi dalam mendokumentasikan hal-hal yang dianggap praktek-praktek baik dan perubahan signifikan yang terjadi selama siklus program berjalan.

Montoring, Evaluation dan Learning akan dilaksanakan secara berkala yang dalam prosesnya akan mencoba melihat rencana awal program berdasarkan output dan outcome program,  perubahan pada proses TOC dan akan menyesuaikan dengan perkembangan proses kegiatan di lapangan.

Proses Workshop Monitoring, Evaluation and Learning (MEL) ini akan dilaksanakan oleh YASMIB Sulawesi yang akan melibatkan seluruh Tim/Pengelola Program Peduli Difabel Sulsel bersama Mitra local yang akan dihadiri langsung Tim Monev dari The Asia Foundation. Workshop ini bertujuan “Mendapatkan informasi tentang perkembangan program (capaian dan tantangan) dari seluruh pengelola program, Merefleksikan hasil TOC dengan perkembangan program di lapangan, Menyusun strategi perubahan yang diinginkan, Menyusun rencana kegiatan untuk 6 – 12  bulan kedepan.

Workshop ini pula dihadiri oleh :

  • Pengelola Program Peduli Difabel Sulsel: Direktur Lembaga (Yasmib dan Mitra Lokal), Penanggung Jawab Program, Tim Leader Program, Koordinator Wilayah Bone dan Gowa, Bagian Keuangan Yasmib, Tim Program Mitra Lokal LPP Bone beserta Relawan Desa Mallari dan Carigading di Bone dan KPI Sulsel beserta Relawan Desa Pakkatto dan Barembeng di Gowa.

Yasmib Sulawesi, Program Peduli dirancang sebagai bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), untuk mengatasi kondisi bahwa sebagian masyarakat miskin justru mengalami kemiskinan karena mereka mengalami stigma dan ekslusi sosial.  Kelompok masyarakat ini belum mendapat manfaat dari program pembangunan yang berbasis masyarakat serta pertumbuhan ekonomi.

Program Peduli dirancang untuk mendorong inklusi sosial bagi kaum marjinal agar meningkatkan akses kepelayanan publik, memberikan kesempatan kerja, dan mendorong partisipasi masyarakat yang lebih luas. Program Peduli juga diharapkan akan memperkuat hubungan sosial  dan memperkuat kebijakan dan peraturan pemerintah pusat maupun daerah agar lebih inklusif.

Inklusi sosial akan mendorong cita-cita, nilai, dan tujuan kebebasan, kesetaraan, demokrasi dan pengakuan. Inklusi sosial memiliki empattitik akhir: kemampuan, keadilan, partisipasi, dan hak asasi manusia.

(Silver, 2012, Background Paper PNPMPeduli, World Bank PSF).

Sehubungan dengan itu, YASMIB Sulawesi akan melaksanakan Workshop Pelaksanaan Program dan Pengelolaan Keuangan pada Program Peduli Difabel Kabupaten Gowa dan Bone, Provinsi Sulawesi Selatan, pada hari Sabtu/Minggu, 23 – 24 Mei 2015 di hotel Horison Panakkukang Makassar. Cheek In hari Jumat, 22 Mei 2015 jam 16.00 Wita, Cheek Out hari Minggu, 24 Mei 2015 jam 12.30 Wita. dengan dukungan penuh dari The Asia Foundation, Kemenko PMK dan DFAT (Australian Aid).

Dengan tujuan :

1. Menyamakan persepsi pengelola program terkait isu Difabel,

2. Meningkatkan pemahaman pengelola program terkait subtansi program Peduli Difabel,

3. Sosialisasi mekanisme pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan pada program Peduli Difabel.

Rabu 4 Maret 2015 bertempat di Hotel Horison Panakukang, YASMIB Sulawesi menyelenggarakan Multistakeholder Meeting Pemantauan Pelaksanaan barang dan Jasa secara elektronik dilingkungan pemerintah Kota Makassar yang diselenggarakan atas kerja sama ICW (Indonesia Corruption Watch), kegiatan ini dibuka Muh. Mario Said Selaku Kepala bagian Perekonomian dan Pembangunan yang mewakili Sekertaris Daerah Kota Makassar

kegiatan ini bertujuan :

  1. Memberikan pemahaman tentang konsep pemantauan proyek e-Procurement untuk para pengambil kebijakan dan pengguna anggaran di tingkat daerah
  2. Menginisiasi upaya bersama antara aparat pemerintah daerah dengan CSO di tingkat daerah untuk mengawal PBJ dan mencegah korupsi.
  3. Mendorong iklim usaha yang sehat,transparan dan kompetitif bagi peserta pelaksana kontrak PBJ di Daerah.

Hadir sebagai  peserta pada kegiatan ini Kejaksaan Tinggi Sulsel, Polrestabes Makassar, Inspektorat Sulsel, LPSE Sulsel, Inspektorat Makassar, LPSE Makassar, Sekretariat DPR-D Makassar, Dinas Pendidikan Kota Makassar, Dinas Kesehatan Makassar dan Dinas Pekerjaan Umum Makassar, ICW (Indonesia Corruption Watch) dan YASMIB (Swadaya Mitra Bangsa) Sulawesi.

Pada proses kegiatan ini Lais Abid peneliti ICW banyak menjelaskan proses dan cara pemantauan Pelaksanaan Barang dan Jasa dengan metode Potential Fraud Analysis (PFA) metode ini telah dikembangkan ICW dalam bentuk website www.opentender.net  yang bisa digunakan oleh siapapun dimanapun.

pada kegiatan ini peneliti YASMIB Sulawesi Masita Syam menjelaskan proses pemantauan Pengadaan Barang dan jasa dengan menggunakan www.opentender.net  terhadap proses pelaksanaan pengadaan di Sulawesi Selatan.