Diskusi kampung disabilitas Yasmib Sulawesi membahas pembentukan pos layanan atau pelayanan yang responsif gender dan inklusif di Desa Mallari dan Desa Carigading. Mengangkat tema : “Pelayanan Publik Yang Responsive Gender Dan Inklusif”.

Diskusi ingin melahirkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Desa untuk mendekatkan, mempermudah, transparansi, dan efektifitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Mendorong percepatan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kewenangan desa dan menjadi kontrol masyarakat kepada pemerintah

Sederhananya, SPM Desa adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan yang merupakan urusan desa yang berhak diperoleh setiap masyarakat desa secara minimal. Pelayanan dimaksud tentu saja yang responsif gender dan inklusif sehingga tidak ada lagi kelompok yang tertinggal, termasuk kelompok disabilitas.

Salah hal yang terkadang belum ditemukan di tingkat desa yakni ketersediaan  fasilitas atau wadah khusus bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi maupun menyampaikan keluhannya yang dapat diakses dengan mudah oleh seluruh warga masyarakat. Termasuk perempuan, anak, dan disabilitas serta kelompok rentan lainnya.

Diskusi kampung mendorong peningkatan pelayanan desa berbasis Standar Pelayanan Minimal (SPM) Desa dan mendorong ketersediaan pos layanan desa yang inklusif yang terintegrasi dengan layanan publik di kabupaten.

Dengan kegiatan ini diharapkan bisa melahirkan komitmen pemerintah desa untuk pemberian pelayanan desa berbasis Standar Pelayanan Minimal SPM dan adanya draft pembentukan pos layanan desa yang inklusif

Kegiatan yang terlaksana di Aula Kantor Desa Mallari melibatkan kelompok disabilitas Desa Mallari, Pemerintah Desa Mallari, BPD Mallari, pendamping lokal Desa Mallari, P3MD Kabupaten Bone, LPP Kabupaten  Bone, PPDI Kabupaten Bone, Mahasiswa STAIN Watampone dan YASMIB Sulawesi. Diskusi ini di terlaksana pada tanggal 25 desember 2017.

Masita Syam Direktur Program YASMIB Sulawesi menyampaikan beberapa poin terkait program dan kegiatan yang terlaksana. Poin penting yang disampaikan adalah pertemuan atau diskusi kampung ini mendorong adanya tempat atau wadah untuk menyampaikan informasi atau mendapatkan pengetahuan tentang informasi layanan yang ada di desa.

Salah satunya informasi dasar, seperti bagaimana mendapatkan informasi tentang kesehatan, pendidikan, ekonomi informasi tentang layanan adminduk dan lain sebagainya.

Semua masyarakat harus berpartisipasi dalam pembangunan desa. Ketika ada Standar Pelayanan Minimal (SPM), tentu akan membuat Desa Mallari lebih mendapatkan akses dalam memberikan informasi.

Contoh pelayanan yang inovasi adalah ketika ada masyarakat atau warga yang ingin mengurus KTP/BPJS, gampang masyarakat mengaksesnya. Karena sudah tersedia di desa.

“Nanti kita akan banyak diskusi terkait sistem pelayanan desa,” kata Masita.

Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib) Sulawesi melakukan pendampingan terhadap tujuh penyandang disabilitas di Dusun Parang Carammeng, Desa Pakatto, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa.

Tujuh penyandang disabilitas melaksanakan perekaman Kartu Tanda Penduduk (KTP) di rumah Kepada Desa Parang Carammeng, Arifin Daeng Sau, Kamis 21 Desember 2017.

Sipil (Dukcapil) Kabupaten Gowa, membawa alat-alat perekaman KTP ke rumah Kepala Desa.

Sekretaris Dukcapil Gowa, Edy Sucipto mengatakan, perekaman KTP untuk para penyandang disabilitas adalah bagian pelayanan serta mempermudah masyarakat Gowa untuk melakukan perekaman KTP.

Apalagi penyandang disabilitas tidak akan mendapatkan bantuan dari pemerintah, jika tidak memiliki KTP.

“Makanya kita menerapkan sistem jemput bola untuk mempermudah para penyandang disabilitas untuk melakukan perekaman,” kata Edy.

“Berdasarkan pantauan kami di lapangan, masyarakat itu baru mau mengurus KTP ketika terdesak. Misalnya mau pinjam uang di bank atau urus BPJS dan lainnya, itu tidak bisa mengurus apa-apa kalau tidak ada KTP. Maka dari itu masyarakat harus menyadari pentingnya KTP,” ungkapnya.

Dia menambahkan, jika KTP para penyandang disabilitas, pihaknya akan mengantarkan KTP-nya.

“Kalau bagus jaringan, satu hari sudah selesai. Kalau sudah jadi, bisa diambil oleh perwakilannya atau kita antarkan langsung ke pemiliknya,” tambahnya.

Koordinator Divisi Analisis Perencanaan Yasmib Sulawesi Affan Natsir berharap, perekaman untuk penyandang disabilitas di dusun Parang Carammeng, diharapkan Dukcapil di daerah lain dapat juga menerapkan sistem jemput bola.

“Kasihan para penyandang disabilitas kalau mau mengurus KTP, pastinya membutuhkan banyak tenaga,” katanya.

Sumber : Makassar Terkini

Masih jelas dalam ingatan Martini. Harus keluar dari rumah pukul 02.00 Wita. Turun dari puncak gunung. Menuju pasar yang buka sekali sepekan. Di bawah gunung.

Tidak ada kuda atau kendaraan mesin untuk ditumpangi. Semua dilalui dengan jalan kaki. Menembus belantara hutan dan dinginnya malam.

“Kita harus cepat sampai supaya bisa dapat bahan masak. Sekali beli langsung banyak. Supaya bisa dimakan dalam waktu lama,” kata Martini kepada Blogger dari Kota Makassar.

Martini buru-buru membeli beras, ikan, sayur, dan bermacam rempah di pasar. Karena tantangan berikutnya, harus membawa semua barang tersebut naik gunung. Kali ini, perjuangan Martini tiga kali lebih berat dibandingkan turun gunung.

“Semua barang dipikul atau menjunjung,” katanya.

Cerita Martini masih bisa saya rasakan. Ketika bersama 20 Blogger dari Makassar memasuki perkampungan dalam kawasan hutan lindung, Selasa 19 Desember 2017.

Kendaraan yang ditumpangi berulang kali jalan mundur. Tidak mampu melewati jalan berbatu dengan kemiringan sekitar 45 derajat.

Takut jatuh ke dalam jurang, semua penumpang turun. Mobil kini lebih leluasa mendaki. Sementara rombongan harus berjalan menembus gelap. Bersama kami, Ada Nisa, anak kecil yang masih setia dalam gendongan ibunya. Semangat Nisa… sumber air so dekat..!

Rombongan berangkat dari Kota Makassar, Senin 18 Desember 2017, pukul 17.00. kami tiba pukul 01.00 Wita.

Seperti cerita Martini — kami merasakan dinginnya malam pegunungan. Beberapa kali kami harus berhenti. Memulihkan nafas dan tenaga. Sampai akhirnya tiba di puncak.

“Dulu kami seperti binatang buas. Jalan dengan rumput sampai pinggang,” kata Marsan, Ketua Kelompok Tani Tabbuakkang, Desa Kahayya.

Jalan setapak yang dibuat warga, perlahan sudah diperlebar. Diberi aspal dan beton oleh pemerintah Kabupaten Bulukumba. Meski belum semua jalan mulus.

Terbukanya akses jalan makin membuka mata pemerintah dan masyarakat di luar Desa Kahayya. Banyak sekali potensi sumber daya alam dan sumber ekonomi yang dimiliki desa di puncak gunung ini. Kahayya masuk dalam wilayah Kecamatan Kindang, Bulukumba. Untuk sampai ke sini banyak jalur yang bisa dilalui. Bisa lewat Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba.

Bangun pagi di Desa Kahayya. Kami beruntung disuguhkan kopi Kahayya oleh Martini. Istri Kepala Desa yang sejak malam sibuk mengurusi kami sebagai tamu. Semoga kebaikan Ibu Martini dibalas rezki berlimpah, Aamiin.

Kopinya mantap dan pas. Terima kasih sekali lagi Bu..

Minum kopi sembari menyaksikan indahnya barisan pegunungan dikelilingi hijau hutan, kebun kopi, dan kabut tipis. Menghirup udara segar. Rasanya membersihkan semua pikiran buruk selama tinggal di tengah polusi kota.

Sebagai penderita maag, sempat muncul kekhawatiran penyakit ini muncul. Alhamdulillah, selama di Puncak Kahayya, sakit kepala dan mual setiap usai minum kopi tidak terasa. Mungkin karena racikan kopinya dengan keikhlasan dan doa. Agar semua yang berkunjung ke Kahayya datang dan pulang dengan selamat.


Menurut Marsan, Kopi Kahayya pertama kali ditemukan pada tahun 1.714. Penemunya disebut bernama Tongan Daeng Manassa. Ketika itu, Kepala Kampung pertama di Desa Kahayya. Oleh masyarakat, kopi ini dijuluki kopi bugis.

Kenapa pohon kopi bisa tumbuh di Kahayya ? Apakah ini tanaman asli atau endemik ? Menurut Marsan, kemungkinan biji kopi yang tumbuh pertama kali dibawa pedagang dari Arab.

Mereka masuk ke Indonesia dan sampai ke Kahayya saat Kerajaan Gowa dibawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin berkuasa. Berdagang sembari menyebarkan Islam.

Dugaan ini sesuai dengan kemiripan bahasa. Bangsa Arab menyebut kopi dengan Kahwa. Masyarakat di Bulukumba menyebut Kaha. Ini pula yang menjadi asal nama Desa Kahayya. Artinya kurang lebih kampung kopi atau tempatnya kopi.

Rahasia nikmatnya kopi Kahayya karena jauh dari pupuk kimia dan pestisida. Masyarakat menanam biji kopi di lereng-lereng gunung. Tanahnya subur karena berasal dari letusan gunung Bawakaraeng. Ribuan tahun yang lampau.

“Hanya tumbuh di Kahayya,” kata Marsan.

Kopi Kahayya sudah dikemas menarik. Diproduksi secara higienis oleh kelompok usaha masyarakat. Menjadi oleh-oleh wisatawan. Bahkan sudah ada yang sampai ke luar negeri.

Tidak hanya biji kopi yang dimanfaatkan warga. Daun kopi pun sudah diseduh menjadi teh daun kopi. Rasanya juga khas. Teh tapi ada aroma kopinya. Enak diminum saat cuaca dingin.

Kopi Kahayya dalam kemasan

Cerita Kopi Kahayya terus menyebar. Bahkan setiap tahun masyarakat gencar mempromosikan kopi ini dengan festival. Namanya : Senandung Kopi Kahayya.

Festival ini mengajak masyarakat, khususnya pecinta kopi datang langsung menikmati kopi di puncak Kahayya. Sembari disuguhkan pertunjukan seni, pembacaan puisi, dan keindahan alam pegunungan Kahayya.

Masyarakat mendapatkan banyak manfaat dari perputaran ekonomi ini. Infrastruktur jalan, sarana pendidikan, dan rumah ibadah telah dibangun. Anak-anak Desa Kahayya juga sudah banyak yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. “Semua karena kopi,” kata Martini.

Pemberdayaan Masyarakat

Untuk membuat Kahayya keluar dari isolasi dan ekslusi tidak mudah. Selain perjuangan oleh masyarakat, pendampingan juga telah lama dilakukan oleh Sulawesi Community Foundation (SCF) lewat Program Peduli.

Masuk akhir 2014 di Kahayya, SCF menemukan banyak permasalahan yang dihadapi masyarakat. Misalnya tidak adanya akses jalan, tidak ada pengakuan ruang kelola bagi masyarakat dalam kawasan hutan, dan adanya strata sosial bangsawan dan kelas pekerja.

“Kami masuk mendampingi karena hal ini,” kata Muliadi Makmur, Program Officer SCF.

Menurut Muliadi, tahun 2014 Kahayya masih terekslusi oleh pemerintah. Infrastruktur dan hak-hak dasar masyarakat tidak terpenuhi.

Sulit bagi masyarakat mengakses ruang-ruang ekonomi. “Alasannya, lokasi Kahayya sangat jauh. Berbatasan dengan Kabupaten Sinjai,” katanya.

Kerja keras gerakan advokasi dan promosi potensi sumber daya alam Desa Kahayya mulai terlihat tahun 2015. Pemerintah mulai mengalokasikan anggaran pembangunan jalan. Masyarakat pun bergeliat mengembangkan potensi alamnya.

Inovasi yang dilakukan adalah memanfaatkan keindahan alam pegunungan Kahayya sebagai tujuan wisata. Mengolah hasil alam menjadi produk makanan ringan, dan memasarkannya lewat usaha kelompok masyarakat.

Pemerintah bersama SCF sepakat mengembangkan Desa Kahayya sebagai ekowisata. Sebagai buktinya, masyarakat diberikan ijin kelola hutan Hak Kemasyarakatan (HKM) selama 35 tahun.

“Masyarakat tidak lagi khawatir dikejar-kejar polisi hutan,” kata Muliadi.

Program Manager The Asia Foundation (TAF) Nurul Firmansyah mengatakan, inovasi di Desa Kahayya membuat masyarakat berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Masyarakat sebagai aktor. Ke depan pemerintah harus memfasilitasi masyarakat. Mendorong komoditi lokal yang khas. Seperti produk organik. “Menjadi alat interaksi sosial ekonomi masyarakat dengan dunia luar,” kata Nurul.

Desa Wisata

Berkunjung ke Desa Kahayya tidak semata untuk merasakan kopi. Wisatawan juga dinantikan oleh banyak pemandangan menarik. Diantaranya danau, mata air asin, goa putih, dan air terjun bidadari.

Pemandangan alam di Desa Kahayya, Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba

“Tidak cukup waktu satu hari untuk menikmati semuanya,” kata Marsan.