Pada 19 Agustus 2025, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menilai tunjangan perumahan legislator lebih efisien jika dibandingkan dengan pemberian Rumah Jabatan Anggota (RJA). Menurutnya, memperbaiki RJA membutuhkan banyak biaya. Akan tetapi FITRA menilai kebijakan tersebut justru kontra produktif dengan tujuan awal arah pemerintahan. Berikut lima argumentasi FITRA menolak pernyataan tersebut:
- Potensi pemborosan niretika di tengah efisiensi yang digaungkan pemerintah. Tunjangan rumah dinas DPR ini dapat dianggap sebagai pemborosan anggaran negara yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kepentingan masyarakat yang lebih membutuhkan, seperti percepatan program 3 juta rumah layak huni bagi masyarakat miskin. Apalagi di saat rakyat harus antre minyak goreng; dibohongi oleh trik bensin; hingga berjuang membayar kontrakan, wakil rakyat justru meminta kontrakan mewah dengan uang negara. Kondisi ini semakin menegaskan jargon efisiensi tidak sejalan dengan praktik boros DPR.
- Skema yang digunakan tidak transparan dan tidak akuntabel. Tunjangan rumah dinas DPR dengan skema lumpsum jelas tidak transparan dan potensi penyalahgunaannya tinggi. Belum tentu tunjangan yang diterima untuk kebutuhan rumah (sewa/kontrak) karena tidak ada laporan aktualnya. Padahal ada mekanisme lain (reimbursement atau laporan penggunaan keuangan) yang memungkinkan publik lebih mengetahui dan menjamin akuntabilitas.
- Kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara wakil rakyat dengan rakyat. Tunjangan rumah dinas DPR yang besar dapat memperlebar kesenjangan antara anggota DPR dan rakyat yang mereka wakili. Banyak warga yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Gini ratio di Indonesia dalam 5 tahun terakhir cenderung tidak signifikan, masih di sekitar angka 0,38 (BPS). Artinya, secara statistik makro dampak pemberian tunjangan rumah dinas DPR dan rasio gini memang nyaris tak terlihat. Namun secara persepsi keadilan dan legitimasi politik, kebijakan ini tetap bisa memperlebar jarak sosial antara elite dan rakyat.
- Prioritas yang tidak tepat. Dengan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat yang masih membutuhkan banyak perbaikan, prioritas anggaran sebaiknya diberikan pada program-program yang langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Apalagi kinerja dewan saat ini masih tergolong rendah, terutama pada aspek legislasi dan pengawasan anggaran. Hampir tidak ada dokumen yang dihasilkan dari monitoring anggaran yang dilakukan oleh DPR. Sebagai contoh, capaian pengesahan RUU dalam Prolegnas prioritas tiga tahun terakhir masih rendah, tidak lebih dari 14% yang selesai (hukumonline.com). Belum lagi peran pengawasan DPR yang masih formalitas.
- Potensi penyalahgunaan. Besarnya tunjangan ini dapat membuka potensi penyalahgunaan wewenang dan korupsi, terutama jika tidak ada pengawasan yang ketat terhadap penggunaannya.
Dengan ini, Seknas FITRA merekomendasikan:
- Efisiensi yang dilakukan seharusnya sebesar-besarnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memfasilitasi pejabat (DPR). Tunjangan rumah dinas DPR seharusnya digunakan untuk mendukung program-program yang lebih bermanfaat bagi masyarakat miskin dan rentan, seperti perempuan, anak, lansia, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat. Misalnya akses terhadap kesehatan reproduksi, pendidikan vokasi, ekonomi mikro atau mempercepat program pengadaan rumah layak huni bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang saat ini lambat atau mandeg.
- Untuk meningkatkan kinerja dewan pada aspek legislasi, penganggaran, dan pengawasan DPR harus memperkuat kinerja dengan menggunakan sistem yang semakin mudah diakses (aksesibel), transparan, efisien, dan inklusif bagi publik.
- DPR sebagai simbol rakyat seharusnya memberi teladan kesederhanaan, bukan malah menggunakan uang rakyat untuk hidup dalam kemewahan. Agar kesenjangan ekonomi antara wakil rakyat dengan rakyat tidak semakin melebar.
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (SEKNAS FITRA)
Narahubung:
Misbah Hasan – Sekjen FITRA (082211713249)