Pada 19 Agustus 2025, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menilai tunjangan perumahan legislator lebih efisien jika dibandingkan dengan pemberian Rumah Jabatan Anggota (RJA). Menurutnya, memperbaiki RJA membutuhkan banyak biaya. Akan tetapi FITRA menilai kebijakan tersebut justru kontra produktif dengan tujuan awal arah pemerintahan. Berikut lima argumentasi FITRA menolak pernyataan tersebut:

  1. Potensi pemborosan niretika di tengah efisiensi yang digaungkan pemerintah. Tunjangan rumah dinas DPR ini dapat dianggap sebagai pemborosan anggaran negara yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kepentingan masyarakat yang lebih membutuhkan, seperti percepatan program 3 juta rumah layak huni bagi masyarakat miskin. Apalagi di saat rakyat harus antre minyak goreng; dibohongi oleh trik bensin; hingga berjuang membayar kontrakan, wakil rakyat justru meminta kontrakan mewah dengan uang negara. Kondisi ini semakin menegaskan jargon efisiensi tidak sejalan dengan praktik boros DPR.
  2. Skema yang digunakan tidak transparan dan tidak akuntabel. Tunjangan rumah dinas DPR dengan skema lumpsum jelas tidak transparan dan potensi penyalahgunaannya tinggi. Belum tentu tunjangan yang diterima untuk kebutuhan rumah (sewa/kontrak) karena tidak ada laporan aktualnya. Padahal ada mekanisme lain (reimbursement atau laporan penggunaan keuangan) yang memungkinkan publik lebih mengetahui dan menjamin akuntabilitas.
  3. Kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara wakil rakyat dengan rakyat. Tunjangan rumah dinas DPR yang besar dapat memperlebar kesenjangan antara anggota DPR dan rakyat yang mereka wakili. Banyak warga yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Gini ratio di Indonesia dalam 5 tahun terakhir cenderung tidak signifikan, masih di sekitar angka 0,38 (BPS). Artinya, secara statistik makro dampak pemberian tunjangan rumah dinas DPR dan rasio gini memang nyaris tak terlihat. Namun secara persepsi keadilan dan legitimasi politik, kebijakan ini tetap bisa memperlebar jarak sosial antara elite dan rakyat.
  4. Prioritas yang tidak tepat. Dengan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat yang masih membutuhkan banyak perbaikan, prioritas anggaran sebaiknya diberikan pada program-program yang langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Apalagi kinerja dewan saat ini masih tergolong rendah, terutama pada aspek legislasi dan pengawasan anggaran. Hampir tidak ada dokumen yang dihasilkan dari monitoring anggaran yang dilakukan oleh DPR. Sebagai contoh, capaian pengesahan RUU dalam Prolegnas prioritas tiga tahun terakhir masih rendah, tidak lebih dari 14% yang selesai (hukumonline.com). Belum lagi peran pengawasan DPR yang masih formalitas.
  5. Potensi penyalahgunaan. Besarnya tunjangan ini dapat membuka potensi penyalahgunaan wewenang dan korupsi, terutama jika tidak ada pengawasan yang ketat terhadap penggunaannya.

Dengan ini, Seknas FITRA merekomendasikan:

  1. Efisiensi yang dilakukan seharusnya sebesar-besarnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memfasilitasi pejabat (DPR). Tunjangan rumah dinas DPR seharusnya digunakan untuk mendukung program-program yang lebih bermanfaat bagi masyarakat miskin dan rentan, seperti perempuan, anak, lansia, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat. Misalnya akses terhadap kesehatan reproduksi, pendidikan vokasi, ekonomi mikro atau mempercepat program pengadaan rumah layak huni bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang saat ini lambat atau mandeg.
  2. Untuk meningkatkan kinerja dewan pada aspek legislasi, penganggaran, dan pengawasan DPR harus memperkuat kinerja dengan menggunakan sistem yang semakin mudah diakses (aksesibel), transparan, efisien, dan inklusif bagi publik.
  3. DPR sebagai simbol rakyat seharusnya memberi teladan kesederhanaan, bukan malah menggunakan uang rakyat untuk hidup dalam kemewahan. Agar kesenjangan ekonomi antara wakil rakyat dengan rakyat tidak semakin melebar.

Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (SEKNAS FITRA)

Narahubung:
Misbah Hasan – Sekjen FITRA (082211713249)

Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi advokasi isu SPARK WASH yakni International Budget Partnership (IBP), Seknas FITRA, Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI), WALHI Sulsel, dan YASMIB (Swadaya Mitra Bangsa) Sulawesi, beserta komunitas PARAS (Perempuan Pejuang Air Bersih) melakukan audiensi dan penyerahan policy brief terkait kebijakan pentingnya integrasi isu sanitasi dan air bersih dalam dokumen perencanaan daerah di kantor Bappeda Kota Makassar. Selasa, 17 Juni 2025.

Kepala Bidang Infrastruktur Irwan Andana menyampaikan, masukan dari masyarakat sipil sangat berarti bagi pemerintah Kota Makassar. Saat ini isu terkati sanitasi dan air bersih sudah termuat dalam RPJMD Kota Makassar.

“Kami membuka ruang kolabirasi untuk memperkuat implementasinya dalam bentuk FGD di bulan Oktober 2025,” tambahnya.

Selain itu, Koalisi juga menyerahkan policy brief ke Dinas Pekerjaan Umum Kota Makassar yang diterima langsung oleh Sub Program Sanitasi dan Air Bersih, Eni Bakiman, dalam pertemuan tersebut menegaskan perlunya data yang lebih rinci dan berbasis wilayah agar pembangunan infrastruktur air bersih dapat dilakukan secara tepat sasaran.

“Terima kasih, saya sangat mengapresiasi adanya kolaborasi seperti ini dari masyarakat sipil. Namun, kami membutuhkan dukungan berupa data yang akurat dan terpetakan berdasarkan wilayah, termasuk jumlah penerima manfaat yang perlu difasilitasi. Selain itu, dibutuhkan juga lahan hibah dari masyarakat untuk pembangunan sumur bor,” ucapnya.

Koalisi masyarakat sipil berharap bahwa sinergi antara komunitas, perempuan pejuang air bersih, dan pemerintah ini dapat mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak pada kelompok rentan, khususnya perempuan dan masyarakat pesisir, yang selama ini paling terdampak oleh keterbatasan akses air bersih dan sanitasi. Langkah ini menjadi bagian penting dalam membangun sistem layanan dasar yang adil, berkelanjutan, dan berbasis partisipasi warga.

 

Pewarta: Kiki Resky

Dalam upaya meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan sebagai agen 2P dalam mencegah dan merespon kasus perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak. YASMIB Sulawesi yang didukung oleh UNICEF melalui program BERANI II melaksanakan kegiatan “Training Of Trainer (TOT) Peran Forum Anak sebagai Pelopor dan Pelapor (2P) dengan Fokus Pencegahan Perkawinan Anak dan VAC”. Kegiatan ini dilaksanakan pada Selasa, 10 Juni 2025 di Sallo Hotel Sengkang Kabupaten Wajo.

Pelatihan ini diikuti sebanyak 20 peserta yang merupakan perwakilan Forum Anak Tomaradeka Wajo, Forum GenRe, PIK-R dan beberapa perwakilan forum anak dari desa/kelurahan. Mereka dilatih untuk memahami peran penting sebagai Pelopor perubahan positif dan Pelapor jika terjadi pelanggaran hak anak di lingkungan sekitarnya dalam upaya perlindungan anak.

Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas Sosial, Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Wajo, Andi Satriani, dalam sambutannya menyatakan bahwa Salah satu penyebab perkawinan anak di Kabupaten Wajo adalah stigma masyarakat yang berpikir bahwa jika menolak lamaran mereka takut jika tidak akan ada lagi yang akan melamar anaknya nanti dan beranggapan bahwa setelah anak mereka menikah maka orang tua sudah tidak akan membiayai lagi karena sudah menjadi tanggung jawab suami si anak.

Melalui kegiatan ini, Forum Anak diharapkan dapat menjadi mitra strategis pemerintah dalam mencegah kekerasan serta menciptakan lingkungan yang aman dan ramah anak. Forum Anak sebagai wadah partisipasi berperan penting dalam memberikan pendampingan dan dorongan bagi teman-teman sebaya di sekitarnya untuk turut serta menangani kasus terhadap anak termasuk perkawinan anak yang makin marak. Forum anak diharapkan menjadi wadah bagi anak-anak untuk bisa berbicara.

Rosniaty Panguriseng, salah satu fasilitator, menyampaikan kesannya, Anak-anak bukan hanya penerima manfaat, tetapi juga pelaku perubahan.

“Melalui pelatihan ini, saya melihat potensi besar dari kalian untuk menjadi suara bagi teman-teman sebaya yang belum bisa bersuara. Teruslah bersuara, bergerak, dan menjadi pelopor kebaikan,” tambahnya.

Melalui forum anak diharapkan mereka mampu menjadi pelopor dan pelapor dalam mencegah terjadinya berbagai macam kasus kekerasan termasuk kasus perkawinan anak yang semakin hari semakin marak terjadi. Contohnya menjadi Pelopor dalam kampanye “Masikola Jolo, Majama Jolo, Nappa Botting” kepada teman teman tentang dampak perkawinan anak. Forum Anak sebagai Pelapor, contohnya apabila ada anak yang dirundung di sekolah maka sebagai agen 2P bisa melaporkan ke guru BK di sekolah agar mendapatkan pertolongan dan masalah ini dapat diatasi.

Salah satu peserta, Maulidia (18), mengaku pelatihan ini sangat membuka wawasannya, mereka berharap YASMIB Sulawesi bisa terus melakukan kegiatan yang melibatkan anak agar hak-hak anak ini bisa terus tersebar ke anak-anak yang lain hingga kepelosok.

“Kegiatan ini sangat menyenangkan karena kami bisa belajar banyak dan menemukan teman-teman yang positif,” kata Aqila, peserta dari Forum Anak Tomaradeka Wajo.

Forum/organisasi anak dapat membantu pemenuhan hak anak, seperti hak sipil dan kebebasan, hak atas pengasuhan keluarga, hak atas kesehatan dan kesejahteraan dasar, hak atas pendidikan dan pemanfaatan waktu luang, serta perlindungan khusus. Mereka jangan sampai menjadi korban kekerasan sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik dari segi fisik, mental, maupun dalam kehidupan sosialnya. Dengan demikian, kelak mereka dapat berkontribusi bagi nusa dan bangsa ke depannya.

Pelatihan juga dirancang interaktif melalui diskusi kelompok, permainan edukatif, dan sesi tanya jawab terbuka bersama para fasilitator. Harapannya pasca pelatihan, Alumni Pelatihan dapat menjalankan peran aktif dalam menyebarkan nilai-nilai perlindungan anak serta mendorong terciptanya lingkungan yang inklusif dan bebas kekerasan. Di akhir sesi, peserta menyusun rencana tindak lanjut dalam upaya mencegah perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak khususnya di wilayah masing-masing sebagai Agen Pelopor dan Pelapor.

Perkawinan anak menjadi permasalahan penting di semua desa, karena mengawinkan anak dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan telah berlangsung lama. Anak perempuan yang tinggal di perdesaan dua kali lebih mungkin menikah sebelum berusia 18 tahun dibandingkan dengan anak perempuan di daerah perkotaan.

Dampak perkawinan anak tidak hanya dialami anak dan perempuan yang menjalaninya, tetapi juga generasi masa depan yang lahir dari perempuan-perempuan yang dikawinkan pada usia anak. Anak-anak yang lahir dari perempuan-perempuan yang berusia anak dikhawatirkan mengalami kurang gizi, gizi buruk, dan tengkis (stunting), di samping rentan mengalami kekerasan dari ibunya yang masih terlalu muda. Pada tahap berikutnya, anak-anak juga mudah dieksploitasi secara ekonomis dan seksual oleh orang tuanya sendiri.

Untuk memperkuat upaya pencegahan dan penanganan perkawinan anak di tingkat desa, YASMIB Sulawesi dan UNCIEF melalui Program BERANI II melaksanakan kegiatan “Pengembangan Deklarasi dan Kebijakan Publik (Perdes) di desa-desa terpilih di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bone, hal ini untuk melindungi anak-anak dari kekerasan dan praktik-praktik berbahaya khususnya Pernikahan Anak”.

Spesialis Perlindungan Anak UNICEF, Tria Amelia Tristiana, mengungkapkan bahwa anak yang hamil berdasarkan data dari Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Wajo tahun 2024 ditemukan sebanyak 230 anak, sedangkan ada 10 anak yang melakukan dispensasi kawin.

“Salah satu kerugian yang dialami orang yang melakukan perkawinan siri adalah anak yang tidak mendapatkan hak waris dan tidak ada harta gono gini,” ucapnya saat memberikan sambutan di kantor Desa Lompoloang, Kabupaten Wajo. Kamis, 22 Mei 2025.

Selain itu, Pencegahan perkawinan anak di desa harus dilakukan secara terencana dan melibatkan berbagai pihak mengingat jumlah perkawinan pada usia Anak menunjukkan angka yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang Anak.

Kapala Bagian (Kabag) Hukum Kabupaten Wajo, Andi Elvira Fajarwati, menjelaskan perkawinan anak perlu ditekan mengingat banyaknya kasus perkawinan anak, sehingga perlu adanya kolaborasi semua pihak dan membuat Peraturan Desa (Perdes) di setiap desa di Kabupaten Wajo.

“Dalam menyusun Perdes diharapkan pemerintah desa mengetahui cara menyusunnya khususnya mengetahui regulasi perundang-undangan yang dimana tertuang dalam UU No 12 Tahun 2021 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,” tambahnya.

Dilain sisi, Direktur Eksekutif YASMIB Sulawesi, Rosniaty Penguriseng, berharap perkawinan anak tidak terjadi lagi di  Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone dan khususnya di Indonesia.

“Kenapa perkawinan anak ini kita harapkan tidak terjadi, karena ini terkait masa depan anak nantinya, karena ini akan mengakibatkan anak putus sekolah, dan anak akan sulit mendapatkan pekerjaan,” ungkapnya.

Kegiatan yang dilaksanakan mulai dari tanggal 22 sampai 26 Mei 2025 di 4 Desa (Desa Lompoloang, Tempe, Limporilau, dan Pakanna) Kabupaten Wajo dan 6 Desa (Desa Welado, Ajjalireng, Cumpiga, Mallari, Abbumpungeng dan Mallimongeng) di Kabupaten Bone, bertujuan untuk Mendorong adanya komitmen Pemerintah Desa/Kelurahan dalam mencegah terjadinya perkawinan anak melalui Peraturan Desa/Kelurahan tentang Pencegahan Perkawinan Anak dan penguatan kelembagaan.

Jakarta – Publik dikejutkan dengan langkah Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pagi ini, Senin, 20 Januari 2025 yang menggelar Rapat Pleno penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), dengan alasan untuk menindaklanjuti sejumlah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menambahkan sejumlah pasal lainnya.

Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola energi dan Sumber Daya Alam (SDA), yang beranggotakan 31 organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional dan daerah, menyebut bahwa proses proses penyusunan RUU ini sangat kilat dan tidak transparan. Muncul secara tiba-tiba, yang bahkan sebelumnya juga tidak muncul dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.

“Jika ini diteruskan, bisa dikatakan lebih ugal-ugalan dari DPR periode sebelumnya. Apalagi, agenda yang muncul di publik, Baleg menargetkan, Rapat Penyusunan, Rapat Panitia Kerja (Panja), dan Pengambilan Keputusan Penyusunan RUU Minerba akan ditargetkan dalam satu hari saja!” katanya.

Aryanto mengungkapkan, ”Jika kita memperhatikan jalannya Rapat Baleg pagi ini, sejumlah anggota Baleg bahkan mengakui baru dapat Naskah Akademis (NA) 30 menit sebelum rapat. Seolah-olah ada upaya memaksakan agar segera dilakukan Revisi UU Minerba. Pertanyaannya Revisi UU Minerba yang kilat ini untuk siapa?”

Arif Adiputro, peneliti Indonesia Parliamentary Center (IPC) menyebut bahwa secara formil dalam pembentukan Undang-Undang (UU) berdasarkan Pasal 23 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) dijelaskan UU yg masuk kumulatif terbuka seharusnya mengakomodir putusan MK diluar putusan MK tidak bisa dibahas, jika mau dibahas harus ditetapkan dalam Prolegnas prioritas tahunan.

Dalam hal ini DPR gagal memahami dalam proses pembentukan UU dan melanggar konstitusi. Selain itu, dengan disahkan UU Minerba dalam waktu singkat tanpa mempertimbangkan masukan masyarakat DPR dinilai tidak belajar dari problem sebelumnya mengenai meaningfull participation atau partisipasi bermakna. Padahal di UU PPP dijelaskan bahwasanya UU yang masuk kumulatif terbuka maupun yang masuk Prolegnas harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunannya.

Konsekuensi dari pengesahan UU minerba yang terburu-buru akan mengakibatkan kurangnya legitimasi dari masyarakat dan menimbulkan konflik di kemudian hari. Kemudian implementasi dari undang-undang tersebut tidak berjalan optimal.

Pasal-Pasal Bermasalah

Aryanto mengungkapkan sejumlah pasal yang diusulkan dalam penyusunan RUU ini sangat bermasalah, diantaranya:

  1. Pasal 51 ayat (1) dimana Wilayah Usaha Pertamnangan (WIUP) Mineral logam diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau Perusahaan perseorangan dengan cara Lelang atau dengan cara pemberian prioritas.
  2. Pasal 51A ayat (1) WIUP Mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.
  3. Pasal 51B ayat (1) WIUP Mineral logam dalam rangka hilirisasi dapat diberikan kepada badan usaha swasta dengan cara prioritas.
  4. Pasal 75 ayat (2) Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta atau badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

“Kami menduga, Penyusunan Rancangan UU Minerba untuk memuluskan upaya mekanisme pemberian izin untuk badan usaha milik Ormas. Ditambah pula dengan Badan Usaha milik Perguruan Tinggi (PT) dan UMKM — menggunakan banyak kalimat – atau diberikan secara Prioritas” jelasnya.

Hal ini adalah bentuk lain “jor-joran” izin tambang yang membahayakan bagi keberlanjutan, baik di batubara maupun mineral.

Selain itu juga menunjukkan bahwa Pemerintah mengakui bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara bertentangan dengan UU, sehingga perlu mengubah UU Minerba secara ugal-ugalan.

Dalam konteks pemberian WIUP secara prioritas kepada perguruan tinggi (PT) misalnya. Seharunya PT fokus pada penyiapan SDM, pengetahuan, dan kapasitas yang mendukung hilirisasi industri pertambangan yang mendukung percepatan transisi energi. Dalam konteks hilirisasi, PT bisa bermain peran dalam mendukung adanya Transfer of Knowlegde dari Investor, membuat lab-lab yang mendukung industri, dan menghasilkan banyak paten.

“Bukan malah membuat badan usaha milik PT!” ungkap Aryanto.

 

Narahubung:

Aryanto Nugroho – aryanto@pwypindonesia.org Arif Adiputro – arif.adiputro@gmail.com

YASMIB Sulawesi bekerjasama UNICEF mengadakan Pelatihan Pencegahan Perkawinan Anak dan Nikah Siri bagi Tokoh Agama dan Masyarakat (Termasuk Imam Desa) untuk Mendorong Norma-norma Sosial yang Positif dengan melalui program Better Reproductive Health and Rights For All in Indonesia (BERANI) II”. Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, mulai Jumat, 20 s/d Sabtu, 21 Desember 2024, di Makasaar Room Hotel Novena Watampone.

Program BERANI II merupakan program kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Canada yang dilaksanakan oleh YASMIB Sulawesi dan UNICEF yang khususnya di Kabupaten Bone dan Wajo dengan tujuan meningkatkan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan dan orang muda.

Perkawinan anak merupakan fenomena yang erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya, sosial, dan agama yang terdapat dalam masyarakat. Secara umum, masyarakat dengan pola hubungan tradisional, pernikahan dianggap sebagai suatu kewajiban sosial yang memiliki nilai sakral dan menjadi bagian dari warisan tradisi. Sementara itu, pada masyarakat modern yang lebih rasional, perkawinan lebih sering dianggap sebagai sebuah kontrak sosial yang berbasis pada pilihan individu. Sudut pandang tradisional terhadap perkawinan sebagai kewajiban sosial ini, memiliki kontribusi yang signifikan terhadap fenomena pernikahan dini yang masih sering dijumpai di Indonesia.

Salah satu faktor penyebab terjadinya perkawinan anak diantaranya adalah adanya nilai yang diyakini secara kuat oleh masyarakat dan berlaku secara turun temurun sampai saat ini yaitu bahwa jika anak perempuan sudah haid dan belum menikah maka diberikan label sebagai “Anak Dara Lado” atau dianggap anak perempuan yang tidak laku. Pelabelan masyarakat yang bias gender ini lebih umum berlaku untuk anak perempuan, bagi laki-laki hanya berlaku jika belum menikah pada usia rata-rata diatas 25 tahun.

Artinya, perkawinan di bawah usia 19 tahun melanggar hak anak atas pendidikan, kesenangan, kesehatan, kebebasan berbicara dan diskriminasi. Proses perkawinan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dan kebiasaan yang diikuti oleh warga masyarakat. Selain itu, pola asuh yang tidak tepat, berdampak pergaulan anak yang tidak terkontrol oleh orang tua atau pengasuh.

Maka dari itu, peran agama sebagai salah satu faktor sosial, budaya, dan moral memiliki potensi besar untuk mencegah terjadinya perkawinan anak di Indonesia. Agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Buddha, maupun agama-agama lainnya, memiliki ajaran dan nilai-nilai yang mengajarkan tentang pentingnya menunda perkawinan hingga usia yang matang dan siap secara fisik, mental, dan ekonomi.

Selain itu, agama juga memiliki peran dalam memberikan pemahaman dan pedoman mengenai hak-hak dan kewajiban dalam perkawinan. Peran tokoh agama sangat penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Oleh karena itu, tokoh agama harus dapat mencarikan solusi atas persoalan umatnya untuk mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan secara komprehensif.

Rosniaty Panguriseng, S.P., M.Si selaku Direktur Eksekutif YASMIB Sulawesi menyampaikan, tujuan dari kegiatan pelatihan ini, untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan tentang dampak perkawinan anak dan nikah siri anak serta mampu menerapkan norma-norma sosial yang positif. Jadi harapannya bagaimana upaya pencegahan perkawinan anak ini kita bisa bergerak secara bersama khususnya terkait dengan perkawinan siri bagi anak, karena perkawinan ini tidak tercatat meskipun dalam agama sah jika memenuhi rukun nikah tetapi tidak sah menurut hukum negara. Perkawinan anak ini artinya lebih banyak mudaratnya dibandingkan manfaatnya, segala sesuatu yang banyak mudaratnya harusnya kita tinggalkan.

“Kenapa banyak mudaratnya karena bisa menimbulkan berbagai masalah diantaranya ekonomi keluarga, menghilangkan hak-hak anak, kekerasan dalam rumah tangga, kualitas pengasuhan, yang ujung-ujungnya nanti misalnya bisa mengakibatkan stunting gizi buruk bagi anak yang dilahirkan dan seterusnya. Olehnya itu kita berharap para tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah desa itu bisa bergerak secara bersama untuk mengatasi masalah tersebut,” tambahnya.

Untuk diketahui, dengan melibatkan tokoh agama/masyarakat dan lembaga layanan berbasis masyarakat, dengan jumlah peserta sebanyak 35 orang diharapkan nantinya mampu memiliki kapasitas dan keterampilan terkait pola asuh positif sensitif gender, dan adanya rencana tindak lanjut untuk penjangkauan kepada masyarakat khususnya di Kabupaten Bone.

MAKASSAR — Di tengah hiruk-pikuk persiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, sejumlah organisasi perempuan dan masyarakat sipil di Sulawesi Selatan menegaskan perlunya perubahan mendasar dalam proses demokrasi. Selasa, 5 November 2024, mereka menggelar pertemuan untuk menyerukan pelaksanaan Pilkada yang bebas dari kekerasan berbasis gender dan mendorong hadirnya calon pemimpin yang berintegritas, serta peduli terhadap lingkungan dan kelompok rentan.

Tergabung dalam YPMP (Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan) Sulsel, YASMIB (Yayasan Swadaya Mitra Bangsa) Sulawesi, komunitas Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, LBH APIK, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulsel, dan YLK Sulsel, suara mereka menciptakan gelombang harapan di tengah tantangan yang ada. Dalam pernyataan mereka, kelompok ini menyoroti kekerasan berbasis gender yang kerap kali menjadi bayang-bayang gelap dalam setiap pemilu. Intimidasi terhadap perempuan, diskriminasi calon perempuan, dan pelecehan seksual merupakan beberapa bentuk kekerasan yang harus dihadapi.

Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Anging Mammiri, Suryani, menekankan bahwa masalah ini perlu mendapatkan perhatian serius. “Kekerasan berbasis gender adalah persoalan serius dalam pemilu. Kita perlu calon pemimpin yang bebas dari korupsi dan peduli terhadap isu-isu lingkungan serta kelompok rentan,” tegasnya. Ani, sapaan akrabnya, menambahkan bahwa seringkali isu penting terkait perempuan luput dari perhatian elit politik, yang lebih fokus pada strategi kemenangan. “Kami hadir untuk memastikan bahwa hal-hal ini menjadi bagian dari diskusi. Ini bukan hanya soal dukung-mendukung, tetapi juga tentang masa depan yang lebih baik bagi semua,” ujarnya.

Dalam konteks yang lebih luas, organisasi ini juga mengangkat isu krisis iklim yang semakin mempengaruhi kehidupan masyarakat, terutama perempuan, lansia, anak-anak, dan penyandang disabilitas. “Keadilan lingkungan harus menjadi prioritas. Pembangunan dan reklamasi yang tidak berkelanjutan sering kali merugikan kelompok-kelompok ini,” imbuhnya.

Suara perempuan harus didengar, terutama oleh para calon pemimpin yang akan datang. Mereka berharap agar siapa pun yang terpilih dapat menempatkan perempuan sebagai subjek dalam pembangunan. “Kami ingin suara perempuan dan kelompok rentan diperhitungkan dalam kebijakan dan program,” harap Ani.

Namun, selama ini pemerintah belum memberikan solusi yang tepat bagi kelompok rentan. Ketika berbicara tentang ketimpangan ekonomi, solusi yang diberikan sering kali tidak menyentuh akar masalah. “Masalah struktural yang dihadapi perempuan petani, nelayan, dan buruh migran tidak dapat diselesaikan hanya dengan program UMKM,” tegasnya.

Dengan semangat untuk mengubah wajah politik di Sulsel, organisasi perempuan ini pun mengajukan beberapa rekomendasi yang harus dipertimbangkan oleh calon pemimpin dan penyelenggara Pilkada:

Dengan semangat untuk mengubah wajah politik di Sulsel, organisasi perempuan ini pun mengajukan beberapa rekomendasi yang harus dipertimbangkan oleh calon pemimpin dan penyelenggara Pilkada:

  1. Mengakhiri segala bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan kelompok rentan.
  2. Mendorong kepemimpinan perempuan yang inklusif, bebas dari relasi politik yang tidak setara.
  3. Memastikan kepemimpinan perempuan mengakomodasi kebutuhan perempuan dalam kebijakan.
  4. Melibatkan perempuan petani, nelayan, buruh migran, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan.
  5. Menolak calon pemimpin yang merusak lingkungan dan mengeksploitasi sumber daya alam.
  6. Memastikan calon kepala daerah memiliki integritas, menghargai keberagaman, dan bebas dari kekerasan seksual.
  7. Menghentikan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan politik.
  8. Menyediakan sanksi bagi ASN yang tidak netral.
  9. Mengedepankan integritas, efektivitas, akuntabilitas, dan bebas dari perilaku koruptif dalam penyelenggaraan Pilkada.

Dalam momen krusial menjelang Pilkada ini, harapan akan pemimpin yang berintegritas dan sensitif terhadap isu-isu gender semakin menggema. Suara perempuan, yang selama ini terpinggirkan, kini semakin kuat dan menuntut keadilan dan kesetaraan dalam setiap langkah kebijakan.

 

https://sulsel.herald.id/2024/11/05/harapan-perempuan-sulsel-pilkada-2024-tanpa-kekerasan-dan-pemimpin-berintegritas/2/

Pada tanggal 30 September 2024, mahasiswa Kuliah Kerja Pengabdian (KKP) FISIP Universitas Muhammadiyah Makassar Angkatan XXIX ke Instansi YASMIB (Swadaya Mitra Bangsa) Sulawesi dalam hal Orientasi Pengenalan lingkungan YASMIB. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan mahasiswa kepada dunia nyata di dunia kerja atau instansi serta menjalin hubungan baik antara kampus dan instansi.

Tim KKP yang terdiri dari Melda Agriya Ningsih Nurdin sebagai Koordinator, bersama anggota Rista Talib, Fadiyah Zulfa Ramadhani, Friska, dan L. Littie, didampingi oleh Dosen Pendamping Ilham Riyadi, S.Pd., M.I.Kom, disambut dengan hangat oleh pihak YASMIB.

Muhammad Nur (Yuyu) selaku Divisi Hukum dan Kebijakan Publik mengapresiasi atas kedatangan mahasiswa KKP FISIP Unsimuh dan menyambut baik kerjasama Unismuh dengan menjadikan YASMIB Sulawesi sebagai tempat belajar Mahasiswa.

“Kami sangat mengapresiasi pihak Unismuh yang tetap berkomitmen membangun silaturahmi dengan menempatkan mahasiswanya di kantor kami, karena 4 tahun terakhir kami selalu mendampingi mahasiswa KKP FISIP di kantor kami, guna berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada mahasisawa” ucapnya

Selama pertemuan, dilakukan diskusi mengenai potensi kolaborasi dalam menciptakan program-program produktif yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Mahasiswa diperkenalkan kepada berbagai program yang telah dijalankan oleh YASMIB, serta tantangan yang dihadapi dalam implementasinya. Ini menjadi kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar langsung dari pengalaman praktis di lapangan.

Koordinator Melda Agriya Ningsih Nurdin menyampaikan harapannya bahwa kolaborasi ini dapat menghasilkan inisiatif yang tidak hanya bermanfaat bagi Yasmib tetapi juga meningkatkan reputasi dan pengalaman mahasiswa dalam pengabdian kepada masyarakat. Pihak Yasmib juga mengungkapkan komitmennya untuk mendukung mahasiswa dalam setiap kegiatan yang direncanakan.

Kedepannya, diharapkan kerjasama ini akan mengembangkan citra positif dari kedua belah pihak. Program-program yang akan dilaksanakan diharapkan dapat menjawab tantangan sosial yang ada, serta meningkatkan keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Semoga kolaborasi ini menjadi langkah awal yang baik dalam menciptakan inovasi yang berkelanjutan dan berimpact positif bagi masyarakat Sulawesi.

Dalam rangka Peningkatan Kapasitas Layanan Perlindungan Anak di Kabupaten Wajo, YASMIB Sulawesi yang didukung oleh UNICEF melalui Program BERANI II melaksanakan kegiatan “Peningkatan Kapasitas Layanan Perlindungan Anak berbasis Masyarakat untuk mencegah dan Merespon Perkawinan Anak dan VAC di desa dan Sekolah” dengan dihadiri oleh Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinsos DalDukKB Kabupaten Wajo sebagai narasumber dan pesertanya terdiri dari  UPTD PPA, PKK, PUSPAGA, KEMENAG, PEKSOS, PATBM, Kepala Desa dan Media serta tim YASMIB Sulawesi, pada Jum’at, 13-14 September 2024 di Sallo Hotel, Sengkang.

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatnya pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam mencegah dan merespon kasus perkawinan anak dan kasus kekerasa terhadap anak.

Kepala Bidang permberdayaan perempuan dan perlindungan anak (DP3A) Kabupaten Bone, Andi Satriani menyampaikan, sulit di lakukan pencegahan anak adalah ketika sudah ada uang Panai’ atau mahar. Sehingga yang harus kita lakukan secara massif adalah upaya pencegahan melalui pendekatan/edukasi dini kepada masyarakat supaya bagaimana mereka tidak memiliki keinginan untuk menikahkan anak-anaknya. Namun jika ada hal yang terjadi kita tetap menindaklanjuti.

“Untuk pemerintah desa, bagaimana nanti bisa menganggarkan atau mengedukasi ini ditingkat desa untuk evaluasi kegiatan kabupaten layak anak, sehingga kegiatan yang dilakukan di tingkat desa dan kelurahan dijadikan dokumen pendukung untuk mencapai kabupaten layak anak,”  tambahnya.

Dalam rangka Peningkatan Kapasitas Layanan Perlindungan Anak di Kabupaten Bone, YASMIB Sulawesi yang didukung oleh UNICEF melalui Program BERANI II melaksanakan kegiatan “Peningkatan Kapasitas Layanan Perlindungan Anak berbasis Masyarakat untuk mencegah dan Merespon Perkawinan Anak dan VAC di desa dan Sekolah” dengan dihadiri oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Bone sebagai narasumber dan pesertanya terdiri dari  UPTD PPA, PKK, PUSPAGA, KEMENAG, PEKSOS, PATBM, Kepala Desa dan Media serta tim YASMIB Sulawesi, pada Rabu, 11-12 September 2024 di Hotel Novena, Bone.

Kegiatan ini bertujuan untuk Meningkatnya pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam mencegah dan merespon kasus perkawinan anak dan kasus kekerasa terhadap anak.

Kepala DP3A Kabupaten Bone, St. Rosnawati menyampaikan, menurutnya kelompok PKK mampu memberikan andil karena didalamnya ada dasawisma, sehingga bisa bersama-sama berkolaborasi untuk menjalankan kegiatan yang akan dilakukan termasuk edukasi.

“Sehingga perlu ada peningkatan kapasitas kepada tenaga layanan dari bawah agar tidak berhenti disitu saja dan tetap mengalami perkembangan dalam pelayanannya, khususnya pada layanan perlindungan anak,”  tambahnya.

Rosniati Panguriseng selaku Direktur Eksekutif YASMIB Sulawesi dan juga merupakan fasilitator kegiatan menyampaikan bahwa kami telah coba mendeteksi di 6 desa dampingan ini apakah ada data kehamilan anak yang mereka miliki.

“Khusus untuk pemerintah desa, kami akan uji coba bagaimana pendataan berbasis desa terkait dengan kasus perkawinan anak,” ungkapnya.